Senin, 04 Mei 2015

nikah mut'ah dan nikah antar agama



KELOMPOK X
REVISI MAKALAH FIQH IBADAH
“NIKAH MUT’AH DAN NIKAH ANTAR AGAMA”


Dosen Pembimbing :
Bapak Ghoffar Ismail, S.Ag.,MA.
Disusun Oleh :
1.     Alfian Nurul Ratri (20130720095)
2.     Saras Rahayuningtyas (20130720098)




UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

A.   Pendahuluan
Pernikahan adalah merupakan sunatullah, bahwa makhluk bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan (Q.S. Al-Dzariyat : 49). Namunterdapatperbedaan yang besarantaramanusia yang notabenememilikihawanafsudanakaldenganhewan yang hanyamemilkinafsu.Denganhanyamemilikinafsuinihewantidakbisaberbudayadantidakbisamembedakanmana yang baikdanmana yang buruk, kecualidalambeberapahalkeciluntukmempertahankanhidupnya, yang munculberdasarkan instinct.Olehkarenanyahewanbisamenyalurkannafsunyadengansesukanyatanpabatasan, sedangkanmanusiatidakdapatmenyalurkannafsunyasepertihewan, melainkanharusdenganperaturan-peraturan yang berbentukinstitusiperkawinan.
Dalam Islam perkawinan dimaksudkan adalah untuk memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunan, dalam suasana yang mawaddah (saling mencintai) rahmah (saling berkasih sayang) antara suami isteri, hal ini sebagaimana maksud dari makna Q.S. al-Rum : 21. Dan perkawinan yang baikadalahperkawinan yang dilakukanolehseorangsuamidanisteri yang seakidah, seakhlakdansatutujuan, disampingcintadanketulusanhati.Sehinggadibawahnaunganketerpaduaninilahkehidupansuamiisteriakantentram, penuhcintadankasihsayang, keluargaakanbahagiaanak-anakakansejahtera, hinggaakhirnyaterwujudtujuanperkawinanyaituuntukmewujudkankehidupanrumahtangga yang sakinahmawaddahdanrahmah.










B.   DefinisidanHakikatNikahMut’ah
Yang dimaksud dengan nikah mut’ah -sebagaimana yang telah dikemukakan oleh A. Syarafuddin al-Musawiy-, bahwa asal kata  mut’ah (Arab) ialah sesuatu yang dinikmati atau diberikan untuk dinikmati. Misalnya benda yang diberikan sebagai ”ganti rugi” kepada isteri yang telah diceraikan. Demikian juga kata kerja tamatta’a dan istamta’a barasal dari akar kata yang sama, yakni menikmati atau bernikmat-nikmat  dengan sesuatu. Haji  tamattu’  disebut demikian karena memberikan kemudahan (kenikmatan) bagi yang mengerjakannya.[3]
Secara istilah,  yang dimaksud nikah mut’ah adalah, seseorang yang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.[4]                                                                                         
Adapun nikah mut’ah di kalangan para ahli fikih (fuqaha’) disebut juga nikah  muaqqat (kawin sementara waktu) atau nikah inqitha’ (kawin terputus). Oleh karena laki-laki yang mengawini wanita  itu untuk jangka tertentu:  sehari, seminggu, atau sebulan sesuai dengan perjanjian. Disebut nikah mut’ah, karena laki-laki bermaksud untuk bersenang-senang dengan wanita untuk sementara waktu sampai batas yang ditentukan.
Sementara menurut Syi’ah Imamiyah, nikah mut’ah adalah apabila seorang wanita  menikahkan dirinya dengan laki-laki dalam keadaan tidak ada hambatan apapun (pada diri wanita) yang membuatnya haram dinikahi, sesuai dengan aturan hukum Islam. Hambatan tersebut baik berupa nasab, periparan, persusuan, ikatan perkawinan dengan orang lain, iddah atau sebab  lain yang merupakan hambatan yang ditetapkan dalam agama. Wanita yang bebas dari hambatan-hambatan tersebut dapat menikahkan dirinya kepada seorang laki-laki dengan mahar tertentu sampai batas waktu yang telah ditentukan dan disetujui bersama dan dengan cara akad nikah yang memenuhi seluruh persyaratan keabsahannya menurut syariat.

Perkawinan mut’ah ialah ikatan tali perkawinan antara seorang laki-laki dan wanita, dengan mahar yang telah disepakati yang disebut dalam akad, sampai pada batas waktu yang ditentukan. Dengan berlalunya waktu yang telah disepakati atau dengan pemendekan batas waktu yang diberikan oleh laki-laki maka berakhirlah ikatan pernikahan tersebut tanpa memerlukan proses perceraian.
Syarat sah dalam nikah mut’ah ini harus dipenuhi semua diantaranya : baligh, berakal, dan tidak ada suatu halangan syar’i untuk berlangsungnya perkawinan tersebut seperti adanya nasab, saudara sepersusu, masih menjadi istri orang lain, atau menjadi saudara perempuan istrinya (ipar) sebagaimana yang telah disebut dalam kitab-kitab fiqh.
Zawwajtuka, Ankahtuka atau Matta’tuka nafsi bimahri (dengan mahar).... Limuddari (untuk jangka waktu) ..... Mahar dan jangka waktu tersebut ditentukan menurut kesepakatan bersama misalnya satu bulan atau satu tahun. Kemudian pihak llaki mengucapkan dengan spontan “Qabiltu(aku setuju)
Dengan semua lafal tadi terjadilah tali perkawinan sampai pada waktu  yang mereka tentukan bersama. Setelah habisnya waktu yang disepakati, wanita tersebut bila hendak kawin dengan lelaki lain dia harus melakukan iddah selama dua bulan. Tapi ada pendapat lain yang mengatakan satu bulan. Jika masa haidnya normal dan empat puluh lima hari kalau dia sudah dewasa tetapi tidak pernah mengalami haid. Sedangkan iddah wanita yang hamil atau ditinggal  mati oleh suaminya, maka iddahnya seperti dalam iddah nikah permanen (da’im). 
Ayat-ayat Qur’an tentang  Nikah Mut’ah
Telah disepakati oleh setiap orang yang mengaku dirinya Muslim bahwa Allah SWT telah menetapkan perkawinan mut’ah tersebut dalam syari’at Islam. tidak seorangpun dari kalangan ulama mazhab yang meragukan hal itu, meskipun banyak terjadi perselisihan pendapat. Bahkan penetapannya dalam Al-Qur’an tergolong suatu keputusan yang tidak dapat ditawar lagi.
Hadits-hadits yang menerangkan asal-usul penetapan perkawinan tersebut banyak sekali, bahkan terdapat pada orang yang mengatakan bahwa perkawinan mut’ah sudah di hapus/nasakh. Anggapan orang tersebut bahwa nikah mut’ah telah dihapus justru menunjukkan disyariatkannya nikah tersebut secara positif.
Cukup kita sebutkan disini satu ayat yang menunjukkan adanya perkawinan mut’ah dalam Al-Qur’an yaitu firman-Nya yang berbunyi :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ , مِنْهُنَّ فَىاَ تُوهُنَّ أُ جُورَهُنَّ
“Maka istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka mahar (mas kawin) dengan sempurna” (Q.S An-nisa : 24)
Al-Qurthubi, Al-Syaukani dan orang yang sependapat dengannya mengatakan bahwa hampir semua ulama menafsirkan ayat tersebut dengan nikah mut’ah yang sudah ditetapkan sejak permulaan Islam.
Imran ibn Al-Hushain berkata “Ayat tersebut diturunkan untuk menetapkan perkawinan mut’ah dan tidak dinasakh”
Abdur Razzaq dalam bukunya Al-Mukatabat berkata bahwa Atha berkata :”yang terdapat dalam surah An-Nisa yang menjelaskan tentang adanya batas waktu dalam perkawinan ialah perkawinan mut’ah.
Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab, Said bin Zubair dan Ibnu Mas’ud membaca ayat tersebut di atas dengan menyisipkan tafsirnya dengan bacaan sebagai berikut:
فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ , مِنْهُنَّ إِ لَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَىَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّفَرِيْضَةً  
 “Barang siapa di antara kalian melakukan perkawinan dengan menggunakan batas waktu maka bayarlah maharnya”
Hubaib bin Abi Tsabit, Mujtahid dan Hakam bin Utaibah juga mengatakan bahwa ayat tersebut turun untuk menjelaskan perkawinan mut’ah.
Dalam Mustadrak Al-Hakim dan kitab-kitab yang lain disebutkan bahwa Ibnu Abbas bersumpah Allah menurunkan ayat tersebut untuk pembatasan waktu dalam mut’ah. Sedangkan Al-Razi dan Al-Naisaburi setelah keduanya meriwayatkan bacaan tersebut fari Ibnu Abbas dan Ubai bin Ka’ab berkta , bahwa seluruh sahabat tidak ada yang menyalahkan bacaaan kedua sahabat tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa bacaan tersebut telah disepakati kebenarannya oleh seluruh umat.
Bahkan sebagian ulama menjelaskan bahwa tambahan kata-kata pada ayat di atas dilakukan oleh para sahabat dengan tujuan untuk menafsirkan ayat tersebut, bukan menambahnya. Dan ulama-ulama yang menekuni dibidang bacaan-bacaan Al-Qur’an membolehkan bacaaan kedua sahabat tersebut karena perkataannya bukan dianggap sebagai ayat.


  1. Hukum danAnalisisNikah Mut’ah
Belakang ini banyak kasus nikah mut’ah, Bagaimana hukum nikah mutah dalam islam?
Mayoritas ulama mengharamkan nikah mut’ah karena cenderung merugikan pihak wanita, apalagi konteksnya sekarang sangat berbeda dengan pada masa Rasulullah SAW. Hanya saja, sekte Syi’ah Imamiyah masih menghalalkannya.
Menurut Abu Daud dan Tirmidzi dari Ibnu’ Abbas ra. Ia mengatakan bahwa nikah mut’ah pada awal Islam ialah mut’ah wanita. Seseorang datang ke suatu negeri dengan membawa dagangan, sedangkan ia tidak bisa menjaganya dan mengmupulkan barang pernigaannya kepadanya. Lalu, ia menikahi seorang wanita hingga waktu yang diperlukannya untuk menyelesaikan hajatnya.
Berikut merupakan dalil dari hadits Nabi saw yang menharamkan nikah mut’ah   yang berbunyi :
عَنْ رَبِيْعِ بْنِ سَبُرَةَ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اِنِّي كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِى الْاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَ اِنَّ اللهَ فَقَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُحَلِّلْ سَبْيَلَهَا وَلَا تَأْخُذُوْا مِمَّا اَتَيْتُمُوْاهُنَّ شَيْئًا      
“Dari Rabi’ bin Saburah, dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah saw bersabda : aku dahulu telah mengizinkan kalian menikahi perempuan dengan mut’ah. Sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat. Maka barangsiapa masih mempunyai istri dengan jalan mut’ah, lepaskan dan jangan mengambil apapun yang telah kamu berikan kepadanya”.[1][6]

Pendapat imam-imam mazhab tentang Mut’ah
Dimana sebeneranya kesepakatan itu ?
Kita kemudian melihat sebagian orang yang mengatakan bahwa haramnya nikah mut’ah atas dasar kesepakatan seluruh sahabat, kecuali Ibnu Abbas yang memang pada mulanya beliau menghalalkan tetapi hanya untuk darurat, kemudian beliau mencabut kembali saat beliau menjelang wafat.

Tetapi kita hanya ingin memberitahu para pembaca tentang pendapat sahabat-sahabat. Bahkan pembesar-pembesar mereka, dengan menyebut pendapat sekelompok tabi’in dan ulama sessudahnya yang tetap mengahalkan nikah mut’ah, walaupun mereka memngetahui bahwa Umar telah mengaharamnkannya. Sebagaian besar nama-nama mereka sudah kami sebut dalam riwayat-riwayat yang telah lewat. Dan kita akan sebutkan juga riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa kebanyakan orang Hijaz dan Yaman menghalalkan nikah mut’ah , disamping riwayat-riwayat dari Ahlul Bait as. Serta pembela-pembelanya dan pendapat-pendapat mereka tentang nikah mur’ah juga amat masyhur.
Tangapan Sahabat Setelah adanya larangan terhadap Nikah Mut’ah
a.       Sebagian orang menganggap Imran bin Hushain termasuk orang yang menghalalkan nikah mut’ah dan telah kami sebutkan hadis yang menunjukkan hal itu.
b.      Jabir bin Adillah juga tergolong orang yang mengahalkan nikah mut’ah, sebagaimana hadis-hadis yang telah kami sebutkan di atas
c.       Selain dari itu, Abdillah bin Mas’ud juga termasuk orang yang menghalakan nikah mut’ah dan hadis-hadis beliau juga telah kami sebutkan. Dan masih banyak lagi nama-nama sahabat nabi yang mengahalkan nikah mut’ah.
Tanggapan Tabi’in dan Ulama Sesudahnya. 
Diantara nama-nama tabi’in yang menghalakan nikah mut’ah ialah :
1.      Said bin Jubair
2.      Mujahid
3.      Atha’
4.      Thawus
5.      Ibnu Juraij
Kata Imam syafi’i , beliau (Ibnu Juraij) telah melakukan mut’ah dengan wanita. Sedang menurut al-dzahabi beliau telah melakukan mut’ah kurang lebih dengan 90 wanita. Kedua pendapat ini sebenarnya tidak bertentangan karena tulisan “tis in” dengan tulisan “sab in” dalam bahsa Arab sangat mirip, jadi besar kemungkinan yang salah adalah penulisannya, bukan yang berpendapat. Apalagi tulisan-tulisan saat itu banyak yang tidak memakai titik atau harakat. Sedang menurut Ghathabi diriwayatkan bahwa Ibnu Juraij membolehkan nikah mut’ah diantara dan Syaukani berkata “Telah mashyur bahwa Ibnu Juraij sebagai seorang ahli fiqh mekkah yang membolehkan nikah nmut’ah diantara orang-orang yang berkata bahwa Ibnu Juraij menghalakan nikah tersebut ialah Imam Mahdi dalam kitab al-bahr, demikian menurut Syaukani”  
Halalnya Mut’ah Adalah Pendapat Kebanyakan Sahabat dan Tabi’in serta Ahlul Bait as.
Diatas telah kami paparkan keterangan yang menjelaskan bawha Ibnu Abbas menyebut nama-nama orang yang menghalalkan nikah Mut’ah hanya saja Thawus yang lupa untuk menyebutnya kembali
Syaukani telah meriwayatkan hadis yang menerangkan halanya mut’ah dari Imam Baqir as, Imam Ja’far Shadiq as dan dari kelompok Imamiyah. Disamping itu, Ibnu Hubaib juga meriwayatkan hal ini dari 6 orang sahabat dan 6 orang tabi’in. Dan Abu Hiyan setelah beliau meriwayatkan hadis yang menunjukkan halalnya nikah mut’ah, beliau berkata “Ahlul Baiat as dan sekelompk tabiin berpendapat demikian.
Al-Razi saat menjelaskan tentang adanya penempatan dalam ayat mut’ah, apakah sudah dinasakh atau tidak? Beliau ushain  :”Sebagian besar berpendapat bahwa ayat tersebut sudah dinasakh tetapi sebagian lain mengatakan bahwa ayat tersebut tetap mubah dan bolehh dilakukan seperti sediakala.”
Al-Qurtubi mnerangkan apa yang dikatakan oleh Al-Thurususi, bahwa yang membolehkan nikah mut’ah hanya Imran bin Hushain , Ibnu Abbas, sekelompok sahabat dan keluarga Rasul as. Ibnu Hajar al-Asqalami berkata : “Orang-orang salaf berbeda pendapat tentang nikah mut’ah. Tetapi Ibnu Mundzir berkata bahwa orang-orang salaf tetap membolehkan nikah mut’ah beliau kutip perkataan ini dari kitab Al-awal’il”.
Al-Zaila Ibnu Abdil Bar , Ibnu Rusd berkata , bahwa Ibnu Abbas dengan teman-temannya dari orang-orang Mekkah dan Yaman menghalalkan nikah mut’ah tersebut.
Ibnu Katsir setelah meriwayat bahwa Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah. Beliau menambahkan bahwa pendapat itu diikuti oleh teman dan pengikut beliau, dan pendapat itu tersohor di antara ulama-ulama Hijaz sampai sesudah Zaman Ibnu Juraij.
Al-qurthuti berkata : “Banyak orang Mekkah yang melakukan nikah mut’ah.”
Al-Syaukani berkata “Dari banyaknya orang yang melakukan itu sampai Auza’i mengancam mereka..” Dan Hakim meriwayatkan bahwa Auz’i berkata: “Lima perkara yang harus ditinggalkan dari perkataan orang-orang Hijaz di antara yang beliau sebutan ialah nikah mut’ah. “
Ibnu Hazm setelah menyebut sejumlah sahabat yang menghalkan nikah mut’ah, beliau berkata : “Jabir bin Abdullah meriwayatkan halalnya nikah mut’ah dari sejumlah sahabat dari zaman Nabi SAW. Sampai mendekati kepemimpinan Umar berakhir. Sedang pertentangan antara riwayat Imam Ali as. Dengan riwayat Ibnu Zubair tentang halalnya nikah tersebut masih perlu diseleksi kembali. Dan yang diharamkan oleh Umar bin Khaththab tentang nikah mut’ah apabila tidak disaksikan oleh dua saksi yang adil, tetapi apabila tidak disaksikan oleh dua saksi yang adil, tetapi apabila disaksikan oleh dua saksi tersebut maka tetap dibolehkan.”
Adapun dari kalangan tabi’in yang menghalalkan nikah mut’ah ialah Thawus, Atha’, Said bin Jabir dan seluruh ahli fiqh Mekkah. Mungkin yang mendorong Ibnu Hazm berkata demikian karena beliau pernah mendengar Jabir bin Abdillah berkata : “ Kita melakukan mut’ah di zaman Nabi saw.” Atau perkataan Ibnu Umar.”Kita lakukan mut’ah di zaman Nabi saw dan tidak pernah dianggap zina.” Atau  perkataan Ibnu Mas’ud yang isinya “ Rasul saw. kemudian mengizinkan kita untuk melakukan nikah mut’ah atau dengan perkataan Imran bin Hushain yang isinya. “Kita lakukan mut’ah bersama Nabi saw” yang menunjukkan bahwa kebanyakan sahabat berpendapat demikian. Dan telah kami sebutkan dengan jelas pendapat Imam Ali as. Atau alasan Umar melarang mut’ah, sehingga tidak perlu kita mengulanginya kembali.
Imam malik Membolehkan Nikah Mut’ah
Imam Sarkhasi berkata dalam kitab Mabsuhnya “Yang dimaksud mut’ah ialah seorang lelaki berkata terhadap seorang  wanita. saya nikahi kamu dalam batas waktu tertentu dengan mahar tertentu juga”. Nikah semacam ini tidak sah menurut kita, tetapi Malik bin Anas membolehkannya. Sepertinya pendapat itu beliau ambil dari perkataan Ibnu Abbas.
Al-Amini berkata “Fatwa Malik tersebut juga disebut dalam kitab Fatawa Al-Farghani karangan Fahrudin bin Mashur Al-Farghani, dalam kitab Khazanat Al-Riwayat Fi Al-Furu’ Al-Hanafiyah karangan Jakan Al-hanafi. Dalam kitab Fi Al-Furu’ Al-Hanafiyah.
Al-Zaila’i juga meriwayatkan pendapat malik tentang halalnya nikah mut’ah dengan alasan, nikah tersebut dilakukan di zaman Nabi saw yang menasakhnya.
Al-Taftazani meriwayatkan dalam kitabnya Syarh Al-Maqashid, bahwa membolehkan nikah mut’ah begitu pula Al-Asqalani dalam kitab Fath Al-Bari, dan Al-Zarqani dalam kitab Syarh Mukhtashari Abi Dhiya’ dan Syarh Al-Muwatha. Beliau menyebutkan bahwa satui dari dua riwayat Malik isinya demikian.
Al-Baji seorang pengikut mazhab Malik berkata dalam kitab Al-Muntaqa. “Barangsiapa hendak mengawini seorang wanita tidak unuk selama-lamanya tetapi hanya untuk waktu tertentu, kemudian berpisah menurut riwayat Muhammad –Malik membolehkan hal itu walaupun pernikahan semacam itu kurang baik dan bukan termasuk akhlak yang baik.
Al-Baquri dalam komentarnya mengatakan: Orang-orang Madinah dan kalanfan Ahli Hadis menganggap arti persetujuan bagi seseorang baik berupa ucapan atau sikap  tidak harus diucapkan karena sikap seseorang sama dengan ucapannya. Dan pengikut mazhab maliki berpendapat lebih dari hadits, apabila terjadi pertentangan antara hadis dengan ucapan orang-orang Madinah, karena mereka anggap ada kemungkinan hadis itu sudah dinasah. Sebagai tambahan dari apa yang diucapkan oleh Baqari bahwa menurut perkataan penganut mazahab Maliki perkataan orang-orang Hijaz sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir. Bahwa mereka menjadikan ucapan orang-orang Hijaz sebagai dalil dalam fatwa-fatwa mereka sama halnya terhadap orang-orang Yaman.
Pendapat Abu hanifah Tentang Nikah Mut’ah
Al-Hasan pernah meriwayatkan  dari Abu Hanifah bahwa masa yang ditentukan dalam pernikahan itu harus masa yang cukup panjang atau lama seperti ucapan. “Saya nikahi kamu selama setahun”. Penentuan semacam ini sah. Karena lama waktu semacam itu dianggap da’im. Dan riwayat tersebut Hasan. Seperti inilah pendapat Ibnu Ziyad. Hal ini dapat disimak kembali dalam kitab Al-Bahruz Zakhar.

Ahmad bin Hanbal Juga Membolehkan Nikah Mut’ah
Termasuk kejadian yang mengejutkan adalah bahwa Ahmad bin Hanbal orang yang gigih mengharamkan nikah mut’ah kita dapati beliau membolehkan nikah tersebut apabila dalam keadaan darurat seperti yang diucapkan oleh Ibnu Katsir. Sedangkan hadis yang menerangkan bahwa Ibnu Abbas dan sekelompok sahabat menghalalkan nikah mut’ah itu adalah riwayat Ahmad bin Hanbal. Disebutkan juga bahwa pendapat Imam Ahmad bin Hanbal tentang mut’ah sama dengan pendapat Ibnu Abbas,, bahkan sampai penulis-penulis hadis mengatakan saya dapat riwayat Ahmad bin Hanbal tentang mut’ah seperti yang saya riwayatkan dari Ibnu Abbas.
Tinggal kita bahas apa yang mereka katakan bahwa sahabat membolehkan nikah mut’ah untuk keadaan darurat, perkataan semacam ini tidak benar dan telah kami jelaskan yang menyangkut hal itu. Juga telah kita katakan bahwa orang yang  membolehkan nikah mut’ah hanya dalam keadaan darurat adalah mereka pengikut Umar bin Khaththab, karena kebanyakan sahabat mengatakan boleh pada saat apapun , baik dalam keadaan darurat atau biasa.
AnalisisNikahMut’ah
Nikahmut’ahdinamakanjuganikahsementara (kontrak), yaitumenikahuntuksatuhari, satuminggu, enamminggu, satutahun, atauberapasajasesuaidenganperjanjiannya.Keempatmadzhabsepakatbahwanikahmut’ah haram hukumnya.Biladalamakadnikahdisebutjangkawaktu, akaditumenjadibataldantidaksah.Hubungan yang dinikahkanmenjadihubunganpezinahan.Nikahmut’ahtelahdiharamkanoleh Islam dengandalilkitab, sunnah, ijma’, danakal.
Dari melihatpaparandiatas, bahwasudahdijelaskanberbagai haram danhalalnyanikahmut’ahitudarimenurutbeberapaperspektifdarimazhab.Dahuludiperbolehkan nikah muth'ah waktu itu adalah karena masyarakat islam pada waktu itu masih dalam transisi (masa peralihan dari jahiliyah kepada islam). Sedang perzinaan pada masa jahiliyah suatu hal yang biasa. Maka setelah islam datang dan menyeru pada pengikutnya untuk pergi berperang karena jauhnya mereka dari istri mereka adalah suatu penderitaan yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan adapula yang sebagian tidak kuat imannya. Bagi yang lemah imannya akan mudah untuk berbuat zina yang merupakan sebagai perbuatan yang keji dan terlarang. Dan bagi yang kuat imannya berkeinginan untuk memuaskan hasratnya atau hawa nafsunya.
. Rasulullah SAW pun jugapernahmelakukannikahmut’ahnamunsetelahitumelarangnya.DalamhaditsNabi saw pun jugatelahdijelaskansebagaiberikut :“Dari Rabi’ bin Saburah, dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah saw bersabda : aku dahulu telah mengizinkan kalian menikahi perempuan dengan mut’ah. Sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat. Maka barangsiapa masih mempunyai istri dengan jalan mut’ah, lepaskan dan jangan mengambil apapun yang telah kamu berikan kepadanya” . Dari penjelasandaliltersebutcukupmenguatkankitasebagaiseorang yang muslimuntuktidakmelakukannikahmut’ah, karenasudahjelasbahwa Allah SWT telahmelarangnyahingganantidatangnyaharikiamat. Kalaupunada yang melakukannikahmut’ahdizamansekaranginimaka orang muslimtersebutsudahmelanggarapa yang telah Allah SWT  perintahkan,. Selainitu, nikahmut’ahtidaksesuaidenganmisidiutusnyaRasulullah SAW sebagai (rahmatanlilalaamin) danbanyakmudharatnya (dampaknegatif) dibandingmanfaatnya, antaralain :merugikanbagikaumwanita, sebabpernikahanituwajarnyadanbaiknyaituuntukseumurhidupbukanuntuksementarawaktu. Dalamhalinijugamenyangkutakhlakterhadapseseorang yang beriman, karenaakandipandangkurangbaikolehmasyarakatmuslim yang lainnya. OlehkarenaituRasulullah SAW mengharamkanmelakukannikahmut’ah.
Jikasampaisaatiniadapendapatmaupundalil yang menghalalkannikahmut’ahitusemuadarikebanyakan sahabat dan tabi’in serta ahlul bait as, antara lain yaitu imam Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad bin Hanbaldanmerekajugatidakmemandangsebabataupunalasanuntukmelakukannikahmut’ah, merekamenganggapsahsahsajabagi orang yang melakukannikahmut’ah.
Menurutsaya, halalnyanikahmut’ahinicukupdijadikanpengetahuansajauntukkita, sehinggakita tau alasanadanya di halalkandandiharamkannyamelakukannikahmut’ahtersebut.Hukum Islam di Indonesia jugatelahmelarangadnyanikahmut’ahbagiseorangmuslim. Jadisemuapembahasantersebuttelahjelas, bahwasekalilaginikahmut’ahhukumnya haram bagiseorangmuslim.


D.   DefinisidanHakikatPernikahan Beda Agama
  Bermacam-macam pendapat yang dikemukakan para pakar hukum mengenai pengertian perkawinan, namun seluruh pengertian tersebut pada dasarnya mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda, dan perbedaan tersebut tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan akan makna yang terkandung dalam perkawinan tersebut. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 dikatakan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa, selanjutnya pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dr. Anwar Haryono dalam bukunya Hukum Islam, menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia. Sedangkan Pror. Dr. Shalaby mengemukakan pemahamannya tentang makna perkawinan dikaitkan dengan arti dari Q.S Yaa Siin : 36 dan arti Q.S. al-Mu’minun : 27, bahwa perkawinan adalah hukum alam yang tetap dan luas bidangnya yang mencakup setiap makhluk hidup, hukum tersebut membahagiakan setiap makhluk hidup dan masing-masing jenis akan memperoleh bagian, yaitu suatu rahasia yang berbeda dengan rasia yang diberikan kepada lawan jenisnya.
Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikatakan bahwa perkawinan adalah merupakah salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami isteri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia dibumi. Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat kuat atau mittsaqon ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya adalah merupakan ibadah.
Sedangkan yang dimaksuddenganperkawinanlintas agama adalahperkawinanantar agama, yaituperkawinan yang dilakukanolehseorangpriaatauseorangwanita yang beragama Islam denganseorangwanitaatauseorangpria yang beragama non-Islam.Perkawinanantar agama disinidapatterjadi (1) calonisteriberagama Islam, sedangkancalonsuamitidakberagama Islam, baikahlulkitabataupunmusyrik, dan (2) calonsuamiberagama Islam, sedangkancalonisteritidakberagama Islam, baikahlulkitabataupunmusyrik.
Dari berbagai pengertian diatas, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai upaya untuk menyalurkan nafsu seksualnya dalam bentuk rumah tangga yang bahagia sakinah mawaddah wa rahmah, guna melanjutkan keturunannya, dan dipandang ibadah bagi yang melaksanakannya, sedangkan perkawinan lintas agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau wanita muslim dengan seorang pria atau wanita non Islam.

E.   Hukum danAnalisisPernikahan Beda Agama (Perspektif Fiqh)
            Dalam hukum Islam, baik dari kandungan al-Qur’an maupun hadits banyak menyebutkan masalah ini, dan secara tekstual terdapat tiga ayat mengenai perkawinan muslim dengan non-muslim. Pertama, seperti dalam al-Qur’an surat al-Baqarah : 221 yang melarang dengan jelas menikahi wanita-wanita musyrik dan laki-laki musyrik sebelum mereka itu beriman. Allah berfirman :

ولاتنكحواالمشركاتحتىيؤمنولأمةمؤمنةخيرمنمشركةولوأعجبتكمولاتنكحواالمشركينحتىيؤمنواولعبدمؤمنخيرمنمشركولوأعجبكمأولئكيدعونإلىالنارواللهيدعوإلىالجنةوالمغفرةبإذنهويبينآياتهللناسلعلهميتذكرون

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (QS. al-Baqarah: 221)
Asbab al-nuzul dari surat ini ialah ketika salah seorang sahabat yang bernama Ibnu Mursyid al-Ghanawi akan mengawini seorang wanita musyrik dengan memohon izin terlebih dahulu kepada Rasulullah sampai dua kali, setelah kedua kali Rasulullah berdoa dan turunlah ayat ini.
Dari ayat ini, secara zahir jelas-jelas melarang wanita maupun laki-laki muslim untuk menikah dengan calon pasangannya yang musyrik. Musyrik yang dalam hal ini bisa kita kaitkan dengan seseorang yang melakukan perbuatan syirik (menyekutukan Allah) salah satu dosa paling besar, mereka semua itu haram untuk dinikahi oleh semua umat Islam (laki-laki maupun perempuan). Kedua, dalam surat al-Mumtahanah: 10 yang berisi larangan perkawinan wanita muslim dengan laki-laki kafir. Teks ayat tersebut :
ياأيهاالذينآمنواإذاجاءكمالمؤمناتمهاجراتفامتحنوهناللهأعلمبإيمانهنفإنعلمتموهنمؤمناتفلاترجعوهنإلىالكفارلاهنحللهمولاهميحلونلهنوآتوهمماأنفقواولاجناحعليكمأنتنكحوهنإذاآتيتموهنأجورهنولاتمسكوابعصمالكوافرواسألواماأنفقتموليسألواماأنفقواذلكمحكماللهيحكمبينكمواللهعليمحكيم
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka”.
Walaupun teks ayat tersebut menyebutkan wanita beriman sebelumnya telah berkumpul dengan suaminya yang kafir dan tetapi kemudian berpaling darinya, lalu hijrah ke dalam kaum muslim. Tetapi secara tersirat jelas juga bahwa wanita-wanita yang beriman (kuat imannya) itu haram untuk dinikahi oleh laki-laki kafir musyrik, yang menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya “orang kafir” yang dimaksud dalam ayat ini ialah kafir Makkah. Dan kalimat sepenggal dari potongan ayat di atas menguatkan lagi wanita beriman yang keimanannya telah kuat haram dinikahi oleh laki-laki kafir.
Ketiga, terdapat dalam surat al-Maidah : 5, yang kandungan ayatnya berisi ketentuan tentang diperbolehkan menikahi wanita-wanita ahli kitab, ayat tersebut berbunyi:
اليومأحللكمالطيباتوطعامالذينأوتواالكتابحللكموطعامكمحللهموالمحصناتمنالمؤمناتوالمحصناتمنالذينأوتواالكتابمنقبلكمإذاآتيتموهنأجورهنمحصنينغيرمسافحينولامتخذيأخدانومنيكفربالإيمانفقدحبطعملهوهوفيالآخرةمنالخاسرين

 Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu
Dari ayat ini memang jelas bahwa laki-laki muslim boleh menikahi perempuan ahli kitab. Dan setelah turunnya ayat ini, banyak sebagian sahabat yang menikahi wanita-wanita ahli kitab, seperti Usman bin Affan kawin dengan Nailah binti Quraqashah al-Kalbiyah yang Nasrani, Thalhah bin Ubaidillah dengan perempuan Yahudi di Damaskus, Huzaifah kawin dengan perempuan Yahudi di Madyan, bahkan Rasulullah saw pun pernah menikahi perempuan ahli kitab yaitu Nabi Maria Qibtiyah, perempuan Kristen Mesir dan Sophia yang Yahudi.
Namun masalah pernikahan ahli kitab ini terdapat masalah pokok, ialah yang pertama siapakah yang dimaksud ahli kitab kalau dikaitkan dengan konteks sekarang? Sebelumnya terlebih dahulu kita lihat definisi ulama mengenai ahli kitab ini. Imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama fiqh, seperti dikutip Zainun (dosen UIN Syarif Hidayatullah), berpendapat bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang nabi atau salah satu kitab suci yang pernah diturunkan oleh Allah, maka ia termasuk ahlul kitab. Rasyid Ridha bahkan menegaskan bahwa Majusi, Sabian, Hindu (Brahmanisme), Budha, Konghucu, Shinto dan agama-agama lain dapat dikategorikan sebagai ahli kitab. Namun kiranya pendapat dari Haji Abdullah ini kami rasa lebih mewakili, beliau berpendapat, apa yang dimaksud dengan ahli kitab ini ialah seorang yang dapat membuktikan bahwa agamanya mempunyai kitab yang diturunkan pada seorang Rasul dari keluarga Ibrahim dan agama itu ialah Islam, Yahudi, Nasrani serta suhuf-suhuf kepada Nabi/Rasul tertentu. Maka yang dimaksud ahli kitab ialah mereka yang menganut keyakinan: 1) Iman dan percaya kepada Allah SWT, 2) Iman dan percaya kepada salah satu kitab sebelum al-Qur’an diturunkan (sebelum Muhammad saw), 3) Iman dan percaya kepada rasul-rasul Allah SWT.
Jadi kita dapat sedikit menarik kesimpulan bahwa ahli kitab itu orang-orang yang menerima dan mempercayai kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya sebelum Nabi Muhammad saw (al-Qur’an) itu ada. Sehingga ini sesuai dengan konsep pernikahan yang dilakukan sahabat yang pernah nikah dengan wanita ahli kitab, karena memang di zaman itu ahli kitab itu masih benar-benar ahli kitab yang hidup sebelum (dekat) al-Qur’an diturunkan. Sedangkan orang-orang (Yahudi, Nasrani) sekarang tidaklah dapat disebut sebagai ahli kitab. Mahmud Yunus mengatakan bahwa sekarang ini tidak ada lagi ahli kitab (kalaupun ada, itupun dalam jumlah yang sangat sedikit sekali). Terlebih sekarang kitab mereka perjanjian lama dan perjanjian baru sudah banyak terkontaminasi atau dalam bahasa lainnya sudah banyak campur tangan manusia.
Terakhir dapat kita katakan perkawinan beda agama dalam kajian hukum Islam dilarang dengan ketentuan yaitu pelarangan secara tegas untuk wanita dan laki-laki muslim yang haram untuk menikahi orang kafir. Kedua, mengungkapkan pelarangan wanita muslim untuk dinikahkan dengan laki-laki non-muslim, ketiga ialah dibolehkannya laki-laki muslim menikahi wanita yang benar-benar ahli kitab.

PernikahanBeda Agama menurutMazhabEmpat
  Sebagaimana diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa hukum perkawinan antara seorang perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki non-muslim, apakah ahlul kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan tersebut haram, tidak sah. Akan tetapi apabila perkawinan tersebut antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahlul kitab atau musyrik, maka para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan musyrik dan ahlul kitab tersebut. Dalam pembahasan terahir ini penulis akan mencoba membahas tentang hukum perkawinan lintas agama ini dari sudut pandang ulama mazhab empat, walaupun pada prinsipnya ulama mazhab empat ini mempunyai pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas berikut pandangan keempat mazhab fiqh tersebut mengenai hukum perkawinan lintas agama.
1). Mazhab Hanafi.
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini.
Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.
2). Mazhab Maliki.
Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini mempunyai dua pendapat yaitu : pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah(wanita non muslim yang tidak memiliki akad perdamaian dengan muslimin) lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua, tidakmakruhmutlakkarenaayattersebuttidakmelarangsecaramutlak.Metodologiberpikirmazhab Maliki inimenggunakanpendektan Sad al Zariah (menutupjalan yang mengarahkepadakemafsadatan).Jikadikhawatirkankemafsadatan yang akanmunculdalamperkawinanbeda agama, makadiharamkan.
3). Mazhab Syafi’i.
Demikian halnya dengan mazhab syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahlul kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakanmazhabiniadalah :
(1). KarenaNabi Musa AS danNabi Isa AS hanyadiutusuntukbangsa Israel, danbukanbangsalainnya.
(2). Lafal min qoblikum (umatsebelumkamu) pada QS. Al-Maidahayat 5 menunjukkankepadaduakelompokgolonganYahudidanNasranibangsa Israel.
Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.
4.  Mazhab Hambali.
Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini, mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan boleh menikahi wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel saja, tapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.




AnalisisNikah Beda Agama
Sebenarnya pernikahan antara pria muslim dengan wanita ahli kitabdiperbolehkan dalam Islam, tetapi karena saat ini sangat sulit sekali ditemui wanita Ahli Kitab yang benar-benar “Ahli Kitab”, maka saya dapat simpulkan bahwa pernikahan beda agama yang ada saat ini tidak dapat dikatakan sah karena hampir tidak ada wanita Ahli Kitab yang benar-benar berpegang teguh kepada Kitab Taurat dan atau Kitab Injil. Karena kedua Kitab suci tersebut yang ada saat ini bukan Kitab Taurat dan Injil yang asli. Sedangkan bagi wanita muslimah yang menikah dengan pria non-muslim, baik pria musyrik maupun pria Ahli Kitab tetap dihukumi haram
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda
“Wanita itu dinikahi karena empat hal; karena hartanya; karena keturunannya; karena kecantikannya dan karena baik kualitas agamanya. Maka pilihlah wanita yang baik kualitas agamanya, niscaya kalian akan beruntung”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka bagi kaum muslimin dan muslimah, alasan pernikahan beda agama dengan alasan cinta, kesamaan hak, kebersamaan, toleransi atau apapun alasannya tidak dapat dibenarkan.
            Perlu pula ditegaskan bahwa masalah pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab hanyalah suatu perbuatan yang dihukumi boleh dilakukan, namun bukan anjuran, apalagi perintah. Karenanya pernikahan yang paling ideal dan yang bisa membawa kita selamat di dunia maupun akhirat serta membawa keluarga kita menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warohmah adalah pernikahan dengan orang seagama yaitu Islam.

F.    Penutup         
Nikah mut’ah adalah seseorang yang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.
Mayoritas ulama mengharamkan nikah mut’ah karena cenderung merugikan pihak wanita, apalagi konteksnya sekarang sangat berbeda dengan pada masa Rasulullah SAW. Hanya saja, sekte Syi’ah Imamiyah masih menghalalkannya. 
Kita kemudian melihat sebagian orang yang mengatakan bahwa haramnya nikah mut’ah atas dasar kesepakatan seluruh sahabat, kecuali Ibnu Abbas yang memang pada mulanya beliau menghalalkan tetapi hanya untuk darurat, kemudian beliau mencabut kembali saat beliau menjelang wafat. Mulai dari Tangapan Sahabat Setelah adanya larangan terhadap Nikah Mut’ah, Tabi’in dan ulama sesudahnya,Halalnya Mut’ah Adalah Pendapat Kebanyakan Shabat dan Tabi’in serta Ahlul Bait as., Abu hanifah Tentang Nikah Mut’ah, dan Ahmad bin Hanbal Juga Membolehkan Nikah Mut’ah.
Perkawinanlintas agama adalahperkawinanantar agama, yaituperkawinan yang dilakukanolehseorangpriaatauseorangwanita yang beragama Islam denganseorangwanitaatauseorangpria yang beragama non-Islam. Perkawinanantar agama disinidapatterjadi (1) calonisteriberagama Islam, sedangkancalonsuamitidakberagama Islam, baikahlulkitabataupunmusyrik, dan (2) calonsuamiberagama Islam, sedangkancalonisteritidakberagama Islam, baikahlulkitabataupunmusyrik.
Dapat kita katakan perkawinan beda agama dalam kajian hukum Islam dilarang dengan ketentuan yaitu pelarangan secara tegas untuk wanita dan laki-laki muslim yang haram untuk menikahi orang kafir. Kedua, mengungkapkan pelarangan wanita muslim untuk dinikahkan dengan laki-laki non-muslim, ketiga ialah dibolehkannya laki-laki muslim menikahi wanita yang benar-benar ahli kitab.
Dalam pembahasan terahir ini penulis akan mencoba membahas tentang hukum perkawinan lintas agama ini dari sudut pandang ulama mazhab empat, walaupun pada prinsipnya ulama mazhab empat ini mempunyai pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikahi, yaitu menurut MazhabHanafi, Maliki, Hambali,dan  Syafi’i.



DAFTAR PUSTAKA


Murtada,Ja’far. Nikah Mut’ah Dalam Islam. 1992. Bandung : CV Firdaus
Rauf, Amin. Buku Pintar Agama Islam.2011. Yogyakarta : SABIL
Eziezha.blogspot.com/2013/05/makalah-pernikahan-beda-agama-.html?m=1
Salas-download.blogspot.com/2013/02/hukum-pernikahan-beda-agama-dalam-islam.html?m=1


                                                           


[3] A. Dzarrin al-Hamidy, Nikah Mut’ah dalam Sorotan Hukum Islam dan Hukum Positif, Al-Qanun, Vol. 11, No. 1, 2008 hlm. 217
[4] Armen Halim Naro, Nikah Mut’ah (Nikah Kontrak), 2006, hlm: 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar