KELOMPOK X
REVISI MAKALAH FIQH IBADAH
“NIKAH MUT’AH DAN NIKAH ANTAR AGAMA”
Dosen Pembimbing :
Bapak Ghoffar Ismail, S.Ag.,MA.
Disusun Oleh :
1.
Alfian
Nurul Ratri (20130720095)
2.
Saras
Rahayuningtyas (20130720098)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Pernikahan
adalah merupakan sunatullah, bahwa makhluk bernyawa itu diciptakan
berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan (Q.S. Al-Dzariyat : 49). Namunterdapatperbedaan yang besarantaramanusia yang
notabenememilikihawanafsudanakaldenganhewan yang
hanyamemilkinafsu.Denganhanyamemilikinafsuinihewantidakbisaberbudayadantidakbisamembedakanmana
yang baikdanmana yang buruk,
kecualidalambeberapahalkeciluntukmempertahankanhidupnya, yang munculberdasarkan
instinct.Olehkarenanyahewanbisamenyalurkannafsunyadengansesukanyatanpabatasan,
sedangkanmanusiatidakdapatmenyalurkannafsunyasepertihewan,
melainkanharusdenganperaturan-peraturan yang berbentukinstitusiperkawinan.
Dalam Islam
perkawinan dimaksudkan adalah untuk memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara
halal serta untuk melangsungkan keturunan, dalam suasana yang mawaddah (saling
mencintai) rahmah (saling berkasih sayang) antara suami isteri, hal ini
sebagaimana maksud dari makna Q.S. al-Rum : 21. Dan
perkawinan yang baikadalahperkawinan yang dilakukanolehseorangsuamidanisteri
yang seakidah, seakhlakdansatutujuan,
disampingcintadanketulusanhati.Sehinggadibawahnaunganketerpaduaninilahkehidupansuamiisteriakantentram,
penuhcintadankasihsayang, keluargaakanbahagiaanak-anakakansejahtera,
hinggaakhirnyaterwujudtujuanperkawinanyaituuntukmewujudkankehidupanrumahtangga
yang sakinahmawaddahdanrahmah.
B. DefinisidanHakikatNikahMut’ah
Yang dimaksud dengan nikah mut’ah -sebagaimana
yang telah dikemukakan oleh A. Syarafuddin al-Musawiy-, bahwa asal kata
mut’ah (Arab) ialah sesuatu yang dinikmati atau diberikan untuk dinikmati.
Misalnya benda yang diberikan sebagai ”ganti rugi” kepada isteri yang telah
diceraikan. Demikian juga kata kerja tamatta’a dan istamta’a
barasal dari akar kata yang sama, yakni menikmati atau bernikmat-nikmat
dengan sesuatu. Haji tamattu’ disebut demikian karena memberikan
kemudahan (kenikmatan) bagi yang mengerjakannya.[3]
Secara istilah, yang dimaksud nikah mut’ah
adalah, seseorang yang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu
tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya berupa harta, makanan, pakaian
atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka
berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.[4]
Adapun nikah mut’ah di kalangan para ahli fikih
(fuqaha’) disebut juga nikah muaqqat (kawin sementara waktu) atau
nikah inqitha’ (kawin terputus). Oleh karena laki-laki yang mengawini
wanita itu untuk jangka tertentu: sehari, seminggu, atau sebulan
sesuai dengan perjanjian. Disebut nikah mut’ah, karena laki-laki bermaksud
untuk bersenang-senang dengan wanita untuk sementara waktu sampai batas yang
ditentukan.
Sementara menurut Syi’ah Imamiyah, nikah mut’ah adalah
apabila seorang wanita menikahkan dirinya dengan laki-laki dalam keadaan
tidak ada hambatan apapun (pada diri wanita) yang membuatnya haram dinikahi,
sesuai dengan aturan hukum Islam. Hambatan tersebut baik berupa nasab,
periparan, persusuan, ikatan perkawinan dengan orang lain, iddah atau
sebab lain yang merupakan hambatan yang ditetapkan dalam agama. Wanita
yang bebas dari hambatan-hambatan tersebut dapat menikahkan dirinya kepada
seorang laki-laki dengan mahar tertentu sampai batas waktu yang telah
ditentukan dan disetujui bersama dan dengan cara akad nikah yang memenuhi
seluruh persyaratan keabsahannya menurut syariat.
Perkawinan mut’ah ialah ikatan tali perkawinan antara seorang
laki-laki dan wanita, dengan mahar yang telah disepakati yang disebut dalam
akad, sampai pada batas waktu yang ditentukan. Dengan berlalunya waktu yang
telah disepakati atau dengan pemendekan batas waktu yang diberikan oleh
laki-laki maka berakhirlah ikatan pernikahan tersebut tanpa memerlukan proses
perceraian.
Syarat sah dalam nikah mut’ah ini harus dipenuhi semua diantaranya
: baligh, berakal, dan tidak ada suatu halangan syar’i untuk berlangsungnya
perkawinan tersebut seperti adanya nasab, saudara sepersusu, masih menjadi
istri orang lain, atau menjadi saudara perempuan istrinya (ipar) sebagaimana
yang telah disebut dalam kitab-kitab fiqh.
Zawwajtuka, Ankahtuka atau
Matta’tuka nafsi bimahri (dengan mahar).... Limuddari (untuk jangka
waktu) ..... Mahar dan jangka waktu tersebut ditentukan menurut
kesepakatan bersama misalnya satu bulan atau satu tahun. Kemudian pihak llaki
mengucapkan dengan spontan “Qabiltu“ (aku setuju)
Dengan semua lafal tadi terjadilah tali perkawinan sampai pada waktu yang mereka tentukan bersama. Setelah
habisnya waktu yang disepakati, wanita tersebut bila hendak kawin dengan lelaki
lain dia harus melakukan iddah selama dua bulan. Tapi ada pendapat lain yang
mengatakan satu bulan. Jika masa haidnya normal dan empat puluh lima hari kalau
dia sudah dewasa tetapi tidak pernah mengalami haid. Sedangkan iddah wanita
yang hamil atau ditinggal mati oleh
suaminya, maka iddahnya seperti dalam iddah nikah permanen (da’im).
Ayat-ayat Qur’an tentang
Nikah Mut’ah
Telah disepakati oleh setiap orang yang mengaku dirinya Muslim
bahwa Allah SWT telah menetapkan perkawinan mut’ah tersebut dalam syari’at
Islam. tidak seorangpun dari kalangan ulama mazhab yang meragukan hal itu,
meskipun banyak terjadi perselisihan pendapat. Bahkan penetapannya dalam
Al-Qur’an tergolong suatu keputusan yang tidak dapat ditawar lagi.
Hadits-hadits yang menerangkan asal-usul penetapan perkawinan
tersebut banyak sekali, bahkan terdapat pada orang yang mengatakan
bahwa perkawinan mut’ah sudah di hapus/nasakh. Anggapan orang tersebut bahwa
nikah mut’ah telah dihapus justru menunjukkan disyariatkannya nikah tersebut
secara positif.
Cukup kita sebutkan disini satu ayat yang menunjukkan adanya
perkawinan mut’ah dalam Al-Qur’an yaitu firman-Nya yang berbunyi :
فَمَا
اسْتَمْتَعْتُم بِهِ , مِنْهُنَّ فَىاَ تُوهُنَّ أُ جُورَهُنَّ
“Maka istri yang telah kamu nikmati (campuri)
di antara mereka, berikanlah kepada mereka mahar (mas kawin) dengan sempurna”
(Q.S An-nisa : 24)
Al-Qurthubi, Al-Syaukani dan orang yang sependapat dengannya
mengatakan bahwa hampir semua ulama menafsirkan ayat tersebut dengan nikah
mut’ah yang sudah ditetapkan sejak permulaan Islam.
Imran ibn Al-Hushain berkata “Ayat tersebut diturunkan untuk
menetapkan perkawinan mut’ah dan tidak dinasakh”
Abdur Razzaq dalam bukunya Al-Mukatabat berkata bahwa Atha berkata :”yang
terdapat dalam surah An-Nisa yang menjelaskan tentang adanya batas waktu dalam
perkawinan ialah perkawinan mut’ah.
Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab, Said bin Zubair dan Ibnu Mas’ud membaca
ayat tersebut di atas dengan menyisipkan tafsirnya dengan bacaan sebagai
berikut:
فَمَا
اسْتَمْتَعْتُم بِهِ , مِنْهُنَّ إِ لَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَىَاتُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّفَرِيْضَةً
“Barang siapa di antara kalian
melakukan perkawinan dengan menggunakan
batas waktu maka bayarlah maharnya”
Hubaib bin Abi Tsabit, Mujtahid dan Hakam bin Utaibah juga
mengatakan bahwa ayat tersebut turun untuk menjelaskan
perkawinan mut’ah.
Dalam Mustadrak Al-Hakim dan kitab-kitab yang lain disebutkan bahwa
Ibnu Abbas bersumpah Allah menurunkan ayat tersebut untuk pembatasan waktu
dalam mut’ah. Sedangkan Al-Razi dan Al-Naisaburi setelah keduanya meriwayatkan
bacaan tersebut fari Ibnu Abbas dan Ubai bin Ka’ab berkta , bahwa seluruh sahabat
tidak ada yang menyalahkan bacaaan kedua sahabat tersebut sehingga dapat
dikatakan bahwa bacaan tersebut telah disepakati kebenarannya
oleh seluruh umat.
Bahkan sebagian ulama menjelaskan bahwa tambahan kata-kata pada
ayat di atas dilakukan oleh para sahabat
dengan tujuan untuk menafsirkan ayat tersebut, bukan menambahnya. Dan
ulama-ulama yang menekuni dibidang bacaan-bacaan Al-Qur’an membolehkan bacaaan
kedua sahabat tersebut karena perkataannya bukan dianggap sebagai ayat.
- Hukum danAnalisisNikah Mut’ah
Belakang ini banyak kasus nikah mut’ah, Bagaimana hukum nikah mutah
dalam islam?
Mayoritas ulama mengharamkan nikah mut’ah karena cenderung
merugikan pihak wanita, apalagi konteksnya sekarang sangat berbeda dengan pada
masa Rasulullah SAW. Hanya saja, sekte Syi’ah Imamiyah masih menghalalkannya.
Menurut Abu Daud dan Tirmidzi dari Ibnu’ Abbas ra. Ia mengatakan
bahwa nikah mut’ah pada awal Islam ialah mut’ah wanita. Seseorang datang ke
suatu negeri dengan membawa dagangan, sedangkan ia tidak bisa menjaganya dan
mengmupulkan barang pernigaannya kepadanya. Lalu, ia menikahi seorang wanita
hingga waktu yang diperlukannya untuk menyelesaikan hajatnya.
Berikut
merupakan dalil dari hadits Nabi saw yang menharamkan nikah mut’ah yang berbunyi :
عَنْ رَبِيْعِ بْنِ سَبُرَةَ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اِنِّي كُنْتُ أَذِنْتُ
لَكُمْ فِى الْاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَ اِنَّ اللهَ فَقَدْ حَرَّمَ
ذَلِكَ اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ
فَلْيُحَلِّلْ سَبْيَلَهَا وَلَا تَأْخُذُوْا مِمَّا اَتَيْتُمُوْاهُنَّ
شَيْئًا
“Dari Rabi’ bin Saburah, dari ayahnya, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda : aku dahulu telah mengizinkan kalian menikahi
perempuan dengan mut’ah. Sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari
kiamat. Maka barangsiapa masih mempunyai istri dengan jalan mut’ah, lepaskan
dan jangan mengambil apapun yang telah kamu berikan kepadanya”.[1][6]
Pendapat
imam-imam mazhab tentang Mut’ah
Dimana sebeneranya kesepakatan itu ?
Kita kemudian melihat sebagian
orang yang mengatakan bahwa haramnya nikah mut’ah atas dasar kesepakatan
seluruh sahabat, kecuali Ibnu Abbas yang memang pada mulanya beliau
menghalalkan tetapi hanya untuk darurat, kemudian beliau mencabut kembali saat
beliau menjelang wafat.
Tetapi kita hanya ingin memberitahu para pembaca tentang pendapat
sahabat-sahabat. Bahkan pembesar-pembesar mereka, dengan menyebut pendapat
sekelompok tabi’in dan ulama sessudahnya yang tetap mengahalkan nikah mut’ah,
walaupun mereka memngetahui bahwa Umar telah mengaharamnkannya. Sebagaian besar
nama-nama mereka sudah kami sebut dalam riwayat-riwayat yang telah lewat. Dan
kita akan sebutkan juga riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa kebanyakan orang
Hijaz dan Yaman menghalalkan nikah mut’ah , disamping riwayat-riwayat dari
Ahlul Bait as. Serta pembela-pembelanya dan pendapat-pendapat mereka tentang
nikah mur’ah juga amat masyhur.
Tangapan Sahabat Setelah adanya larangan terhadap Nikah Mut’ah
a.
Sebagian
orang menganggap Imran bin Hushain termasuk orang yang menghalalkan nikah
mut’ah dan telah kami sebutkan hadis yang menunjukkan hal itu.
b.
Jabir
bin Adillah juga tergolong orang yang mengahalkan nikah mut’ah, sebagaimana
hadis-hadis yang telah kami sebutkan di atas
c.
Selain
dari itu, Abdillah bin Mas’ud juga termasuk orang yang menghalakan nikah mut’ah
dan hadis-hadis beliau juga telah kami sebutkan. Dan masih banyak lagi
nama-nama sahabat nabi yang mengahalkan nikah mut’ah.
Tanggapan
Tabi’in dan Ulama Sesudahnya.
Diantara
nama-nama tabi’in yang menghalakan nikah mut’ah ialah :
1.
Said
bin Jubair
2.
Mujahid
3.
Atha’
4.
Thawus
5.
Ibnu
Juraij
Kata Imam syafi’i , beliau (Ibnu Juraij) telah melakukan mut’ah dengan
wanita. Sedang menurut al-dzahabi beliau telah melakukan mut’ah kurang lebih
dengan 90 wanita. Kedua pendapat ini sebenarnya tidak bertentangan karena
tulisan “tis in” dengan tulisan “sab in” dalam bahsa Arab sangat
mirip, jadi besar kemungkinan yang salah adalah penulisannya,
bukan yang berpendapat. Apalagi tulisan-tulisan saat itu banyak yang tidak
memakai titik atau harakat. Sedang menurut Ghathabi diriwayatkan bahwa Ibnu
Juraij membolehkan nikah mut’ah diantara dan Syaukani berkata “Telah mashyur
bahwa Ibnu Juraij sebagai seorang
ahli fiqh mekkah yang membolehkan nikah nmut’ah diantara orang-orang yang
berkata bahwa Ibnu Juraij menghalakan nikah tersebut ialah Imam Mahdi dalam
kitab al-bahr, demikian menurut Syaukani”
Halalnya Mut’ah Adalah Pendapat Kebanyakan Sahabat dan Tabi’in serta Ahlul Bait as.
Diatas telah kami paparkan keterangan yang menjelaskan bawha Ibnu
Abbas menyebut nama-nama orang yang menghalalkan nikah Mut’ah hanya saja Thawus
yang lupa untuk menyebutnya kembali
Syaukani telah meriwayatkan hadis yang menerangkan halanya mut’ah
dari Imam Baqir as, Imam Ja’far Shadiq as dan dari kelompok Imamiyah. Disamping
itu, Ibnu Hubaib juga meriwayatkan hal ini dari 6 orang sahabat
dan 6 orang tabi’in. Dan Abu Hiyan setelah beliau meriwayatkan hadis yang
menunjukkan halalnya nikah mut’ah, beliau berkata “Ahlul Baiat as dan sekelompk
tabiin berpendapat demikian.
Al-Razi saat menjelaskan tentang adanya penempatan dalam ayat
mut’ah, apakah sudah dinasakh atau tidak? Beliau ushain :”Sebagian besar berpendapat bahwa ayat
tersebut sudah dinasakh tetapi sebagian lain mengatakan bahwa ayat tersebut
tetap mubah dan bolehh dilakukan seperti sediakala.”
Al-Qurtubi mnerangkan apa yang dikatakan oleh Al-Thurususi, bahwa
yang membolehkan nikah mut’ah hanya Imran bin Hushain , Ibnu Abbas, sekelompok
sahabat dan keluarga Rasul as. Ibnu Hajar al-Asqalami berkata : “Orang-orang
salaf berbeda pendapat tentang nikah mut’ah. Tetapi Ibnu Mundzir berkata bahwa
orang-orang salaf tetap membolehkan nikah mut’ah beliau kutip perkataan ini
dari kitab Al-awal’il”.
Al-Zaila Ibnu Abdil Bar , Ibnu Rusd berkata , bahwa
Ibnu Abbas dengan teman-temannya dari orang-orang Mekkah dan Yaman menghalalkan
nikah mut’ah tersebut.
Ibnu Katsir setelah meriwayat bahwa Ibnu Abbas membolehkan nikah
mut’ah. Beliau menambahkan bahwa pendapat itu diikuti oleh teman dan pengikut
beliau, dan pendapat itu tersohor di antara ulama-ulama Hijaz sampai sesudah
Zaman Ibnu Juraij.
Al-qurthuti berkata : “Banyak orang Mekkah yang melakukan nikah
mut’ah.”
Al-Syaukani berkata “Dari banyaknya orang yang melakukan itu
sampai Auza’i mengancam mereka..” Dan Hakim meriwayatkan bahwa Auz’i
berkata: “Lima perkara yang harus ditinggalkan dari perkataan orang-orang
Hijaz di antara yang beliau sebutan ialah nikah mut’ah. “
Ibnu Hazm setelah menyebut sejumlah sahabat yang menghalkan nikah
mut’ah, beliau berkata : “Jabir bin Abdullah meriwayatkan halalnya nikah
mut’ah dari sejumlah sahabat dari zaman Nabi SAW. Sampai mendekati kepemimpinan
Umar berakhir. Sedang pertentangan antara riwayat Imam Ali as. Dengan riwayat
Ibnu Zubair tentang halalnya nikah tersebut masih perlu diseleksi kembali. Dan
yang diharamkan oleh Umar bin Khaththab tentang nikah mut’ah apabila tidak
disaksikan oleh dua saksi yang adil, tetapi apabila tidak disaksikan oleh dua
saksi yang adil, tetapi apabila disaksikan oleh dua saksi tersebut maka tetap
dibolehkan.”
Adapun dari kalangan tabi’in yang menghalalkan nikah mut’ah ialah
Thawus, Atha’, Said bin Jabir dan seluruh ahli fiqh Mekkah. Mungkin yang
mendorong Ibnu Hazm berkata demikian karena beliau pernah mendengar Jabir bin
Abdillah berkata : “ Kita melakukan mut’ah di zaman Nabi saw.” Atau
perkataan Ibnu Umar.”Kita lakukan mut’ah di zaman Nabi saw dan tidak pernah
dianggap zina.” Atau perkataan Ibnu
Mas’ud yang isinya “ Rasul saw. kemudian mengizinkan kita untuk melakukan
nikah mut’ah atau dengan perkataan Imran bin Hushain yang isinya. “Kita lakukan
mut’ah bersama Nabi saw” yang menunjukkan bahwa kebanyakan sahabat
berpendapat demikian. Dan telah kami sebutkan dengan jelas pendapat Imam Ali
as. Atau alasan Umar melarang mut’ah, sehingga tidak perlu kita mengulanginya
kembali.
Imam malik Membolehkan Nikah Mut’ah
Imam Sarkhasi berkata dalam kitab Mabsuhnya “Yang dimaksud
mut’ah ialah seorang lelaki berkata terhadap seorang wanita. saya nikahi kamu dalam batas waktu
tertentu dengan mahar tertentu juga”. Nikah semacam ini tidak sah menurut
kita, tetapi Malik bin Anas membolehkannya. Sepertinya pendapat itu beliau
ambil dari perkataan Ibnu Abbas.
Al-Amini berkata “Fatwa Malik tersebut juga disebut dalam kitab
Fatawa Al-Farghani karangan Fahrudin bin Mashur Al-Farghani, dalam kitab
Khazanat Al-Riwayat Fi Al-Furu’ Al-Hanafiyah karangan Jakan Al-hanafi. Dalam
kitab Fi Al-Furu’ Al-Hanafiyah.
Al-Zaila’i juga meriwayatkan pendapat malik tentang halalnya nikah
mut’ah dengan alasan, nikah tersebut dilakukan di zaman Nabi saw yang
menasakhnya.
Al-Taftazani meriwayatkan dalam kitabnya Syarh Al-Maqashid, bahwa
membolehkan nikah mut’ah begitu pula Al-Asqalani dalam kitab Fath Al-Bari, dan
Al-Zarqani dalam kitab Syarh Mukhtashari Abi Dhiya’ dan Syarh Al-Muwatha.
Beliau menyebutkan bahwa satui dari dua riwayat Malik isinya demikian.
Al-Baji seorang pengikut mazhab Malik berkata dalam kitab
Al-Muntaqa. “Barangsiapa hendak mengawini seorang wanita tidak unuk
selama-lamanya tetapi hanya untuk waktu tertentu, kemudian berpisah menurut
riwayat Muhammad –Malik membolehkan hal itu walaupun pernikahan semacam itu
kurang baik dan bukan termasuk akhlak yang baik.”
Al-Baquri dalam komentarnya mengatakan: Orang-orang Madinah dan
kalanfan Ahli Hadis menganggap arti persetujuan bagi seseorang baik berupa
ucapan atau sikap tidak harus diucapkan
karena sikap seseorang sama dengan ucapannya. Dan pengikut mazhab maliki
berpendapat lebih dari hadits, apabila terjadi pertentangan antara hadis dengan
ucapan orang-orang Madinah, karena mereka anggap ada kemungkinan hadis itu
sudah dinasah. Sebagai tambahan dari apa yang diucapkan oleh Baqari bahwa
menurut perkataan penganut mazahab Maliki perkataan orang-orang Hijaz
sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir. Bahwa mereka menjadikan ucapan
orang-orang Hijaz sebagai dalil dalam fatwa-fatwa mereka sama halnya terhadap
orang-orang Yaman.
Pendapat Abu hanifah Tentang Nikah Mut’ah
Al-Hasan pernah meriwayatkan
dari Abu Hanifah bahwa masa yang ditentukan dalam pernikahan itu harus
masa yang cukup panjang atau lama seperti ucapan. “Saya nikahi kamu selama
setahun”. Penentuan semacam ini sah. Karena lama waktu semacam itu dianggap
da’im. Dan riwayat tersebut Hasan. Seperti inilah pendapat Ibnu Ziyad. Hal ini
dapat disimak kembali dalam kitab Al-Bahruz Zakhar.
Ahmad bin Hanbal Juga Membolehkan Nikah Mut’ah
Termasuk kejadian yang mengejutkan adalah bahwa Ahmad bin Hanbal
orang yang gigih mengharamkan nikah mut’ah kita dapati beliau membolehkan nikah
tersebut apabila dalam keadaan darurat seperti yang diucapkan oleh Ibnu Katsir.
Sedangkan hadis yang menerangkan bahwa Ibnu Abbas dan sekelompok sahabat
menghalalkan nikah mut’ah itu adalah riwayat Ahmad bin Hanbal. Disebutkan juga
bahwa pendapat Imam Ahmad bin Hanbal tentang mut’ah sama dengan pendapat Ibnu
Abbas,, bahkan sampai penulis-penulis hadis mengatakan saya dapat riwayat Ahmad
bin Hanbal tentang mut’ah seperti yang saya riwayatkan dari Ibnu Abbas.
Tinggal kita bahas apa yang mereka katakan bahwa sahabat
membolehkan nikah mut’ah untuk keadaan darurat, perkataan semacam ini tidak
benar dan telah kami jelaskan yang menyangkut hal itu. Juga telah kita katakan
bahwa orang yang membolehkan nikah
mut’ah hanya dalam keadaan darurat adalah mereka pengikut Umar bin Khaththab,
karena kebanyakan sahabat mengatakan boleh pada saat apapun , baik dalam
keadaan darurat atau biasa.
AnalisisNikahMut’ah
Nikahmut’ahdinamakanjuganikahsementara (kontrak),
yaitumenikahuntuksatuhari, satuminggu, enamminggu, satutahun,
atauberapasajasesuaidenganperjanjiannya.Keempatmadzhabsepakatbahwanikahmut’ah
haram hukumnya.Biladalamakadnikahdisebutjangkawaktu,
akaditumenjadibataldantidaksah.Hubungan yang
dinikahkanmenjadihubunganpezinahan.Nikahmut’ahtelahdiharamkanoleh Islam
dengandalilkitab, sunnah, ijma’, danakal.
Dari melihatpaparandiatas,
bahwasudahdijelaskanberbagai haram danhalalnyanikahmut’ahitudarimenurutbeberapaperspektifdarimazhab.Dahuludiperbolehkan nikah muth'ah waktu
itu adalah karena masyarakat islam pada waktu itu masih dalam transisi (masa
peralihan dari jahiliyah kepada islam). Sedang perzinaan pada masa jahiliyah
suatu hal yang biasa. Maka setelah islam datang dan menyeru pada pengikutnya
untuk pergi berperang karena jauhnya mereka dari istri mereka adalah suatu
penderitaan yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan adapula yang
sebagian tidak kuat imannya. Bagi yang lemah imannya akan mudah untuk berbuat
zina yang merupakan sebagai perbuatan yang keji dan terlarang. Dan bagi yang
kuat imannya berkeinginan untuk memuaskan hasratnya atau hawa nafsunya.
. Rasulullah SAW pun
jugapernahmelakukannikahmut’ahnamunsetelahitumelarangnya.DalamhaditsNabi saw
pun jugatelahdijelaskansebagaiberikut :“Dari Rabi’
bin Saburah, dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah saw bersabda : aku dahulu
telah mengizinkan kalian menikahi perempuan dengan mut’ah. Sekarang Allah telah
mengharamkannya sampai hari kiamat. Maka barangsiapa masih mempunyai istri
dengan jalan mut’ah, lepaskan dan jangan mengambil apapun yang telah kamu
berikan kepadanya” . Dari
penjelasandaliltersebutcukupmenguatkankitasebagaiseorang yang
muslimuntuktidakmelakukannikahmut’ah, karenasudahjelasbahwa Allah SWT
telahmelarangnyahingganantidatangnyaharikiamat. Kalaupunada yang
melakukannikahmut’ahdizamansekaranginimaka orang
muslimtersebutsudahmelanggarapa yang telah Allah SWT perintahkan,. Selainitu, nikahmut’ahtidaksesuaidenganmisidiutusnyaRasulullah
SAW sebagai (rahmatanlilalaamin) danbanyakmudharatnya (dampaknegatif)
dibandingmanfaatnya, antaralain :merugikanbagikaumwanita,
sebabpernikahanituwajarnyadanbaiknyaituuntukseumurhidupbukanuntuksementarawaktu.
Dalamhalinijugamenyangkutakhlakterhadapseseorang yang beriman,
karenaakandipandangkurangbaikolehmasyarakatmuslim yang lainnya.
OlehkarenaituRasulullah SAW mengharamkanmelakukannikahmut’ah.
Jikasampaisaatiniadapendapatmaupundalil yang
menghalalkannikahmut’ahitusemuadarikebanyakan sahabat dan tabi’in serta ahlul bait as, antara lain
yaitu imam Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad bin
Hanbaldanmerekajugatidakmemandangsebabataupunalasanuntukmelakukannikahmut’ah,
merekamenganggapsahsahsajabagi orang yang melakukannikahmut’ah.
Menurutsaya,
halalnyanikahmut’ahinicukupdijadikanpengetahuansajauntukkita, sehinggakita tau
alasanadanya di halalkandandiharamkannyamelakukannikahmut’ahtersebut.Hukum
Islam di Indonesia jugatelahmelarangadnyanikahmut’ahbagiseorangmuslim. Jadisemuapembahasantersebuttelahjelas, bahwasekalilaginikahmut’ahhukumnya
haram bagiseorangmuslim.
D.
DefinisidanHakikatPernikahan Beda Agama
Bermacam-macam pendapat yang
dikemukakan para pakar hukum mengenai pengertian perkawinan, namun seluruh
pengertian tersebut pada dasarnya mengandung esensi yang sama meskipun
redaksionalnya berbeda, dan perbedaan tersebut tidaklah memperlihatkan adanya
pertentangan akan makna yang terkandung dalam perkawinan tersebut. Dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 dikatakan bahwa Perkawinan adalah ikatan
lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa, selanjutnya pada pasal 2 ayat (1)
disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dr. Anwar
Haryono dalam bukunya Hukum Islam, menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu
perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk
membentuk keluarga bahagia. Sedangkan Pror. Dr. Shalaby mengemukakan
pemahamannya tentang makna perkawinan dikaitkan dengan arti dari Q.S Yaa Siin :
36 dan arti Q.S. al-Mu’minun : 27, bahwa perkawinan adalah hukum alam yang
tetap dan luas bidangnya yang mencakup setiap makhluk hidup, hukum tersebut
membahagiakan setiap makhluk hidup dan masing-masing jenis akan memperoleh
bagian, yaitu suatu rahasia yang berbeda dengan rasia yang diberikan kepada
lawan jenisnya.
Dalam
Ensiklopedi hukum Islam dikatakan bahwa perkawinan adalah merupakah salah satu
upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami isteri dalam sebuah rumah tangga
sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan
eksistensi manusia dibumi. Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan
adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat kuat atau mittsaqon
ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya adalah merupakan
ibadah.
Sedangkan yang dimaksuddenganperkawinanlintas agama adalahperkawinanantar
agama, yaituperkawinan yang dilakukanolehseorangpriaatauseorangwanita yang
beragama Islam denganseorangwanitaatauseorangpria yang beragama
non-Islam.Perkawinanantar agama disinidapatterjadi (1) calonisteriberagama
Islam, sedangkancalonsuamitidakberagama Islam, baikahlulkitabataupunmusyrik,
dan (2) calonsuamiberagama Islam, sedangkancalonisteritidakberagama Islam,
baikahlulkitabataupunmusyrik.
Dari
berbagai pengertian diatas, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan
perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai
upaya untuk menyalurkan nafsu seksualnya dalam bentuk rumah tangga yang bahagia
sakinah mawaddah wa rahmah, guna melanjutkan keturunannya, dan dipandang ibadah
bagi yang melaksanakannya, sedangkan perkawinan lintas agama adalah perkawinan
yang dilakukan oleh seorang pria atau wanita muslim dengan seorang pria atau
wanita non Islam.
E.
Hukum danAnalisisPernikahan Beda Agama
(Perspektif Fiqh)
Dalam hukum Islam, baik dari kandungan al-Qur’an
maupun hadits banyak menyebutkan masalah ini, dan secara tekstual terdapat tiga
ayat mengenai perkawinan muslim dengan non-muslim. Pertama,
seperti dalam al-Qur’an surat al-Baqarah : 221 yang melarang dengan jelas
menikahi wanita-wanita musyrik dan laki-laki musyrik sebelum mereka itu
beriman. Allah berfirman :
ولاتنكحواالمشركاتحتىيؤمنولأمةمؤمنةخيرمنمشركةولوأعجبتكمولاتنكحواالمشركينحتىيؤمنواولعبدمؤمنخيرمنمشركولوأعجبكمأولئكيدعونإلىالنارواللهيدعوإلىالجنةوالمغفرةبإذنهويبينآياتهللناسلعلهميتذكرون
“Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (QS.
al-Baqarah: 221)
Asbab al-nuzul dari surat ini ialah
ketika salah seorang sahabat yang bernama Ibnu Mursyid al-Ghanawi akan
mengawini seorang wanita musyrik dengan memohon izin terlebih dahulu kepada
Rasulullah sampai dua kali, setelah kedua kali Rasulullah berdoa dan turunlah
ayat ini.
Dari ayat ini, secara zahir jelas-jelas melarang
wanita maupun laki-laki muslim untuk menikah dengan calon pasangannya yang
musyrik. Musyrik yang dalam hal ini bisa kita kaitkan dengan seseorang yang
melakukan perbuatan syirik (menyekutukan Allah) salah satu dosa paling besar,
mereka semua itu haram untuk dinikahi oleh semua umat Islam (laki-laki maupun
perempuan). Kedua, dalam surat al-Mumtahanah: 10 yang berisi
larangan perkawinan wanita muslim dengan laki-laki kafir. Teks ayat
tersebut :
ياأيهاالذينآمنواإذاجاءكمالمؤمناتمهاجراتفامتحنوهناللهأعلمبإيمانهنفإنعلمتموهنمؤمناتفلاترجعوهنإلىالكفارلاهنحللهمولاهميحلونلهنوآتوهمماأنفقواولاجناحعليكمأنتنكحوهنإذاآتيتموهنأجورهنولاتمسكوابعصمالكوافرواسألواماأنفقتموليسألواماأنفقواذلكمحكماللهيحكمبينكمواللهعليمحكيم
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui
tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka”.
Walaupun teks ayat tersebut
menyebutkan wanita beriman sebelumnya telah berkumpul dengan suaminya yang
kafir dan tetapi kemudian berpaling darinya, lalu hijrah ke dalam kaum muslim.
Tetapi secara tersirat jelas juga bahwa wanita-wanita yang beriman (kuat
imannya) itu haram untuk dinikahi oleh laki-laki kafir musyrik, yang menurut
Ibnu Katsir dalam tafsirnya “orang kafir” yang dimaksud dalam ayat ini ialah
kafir Makkah. Dan kalimat sepenggal dari potongan ayat di atas menguatkan lagi
wanita beriman yang keimanannya telah kuat haram dinikahi oleh laki-laki kafir.
Ketiga, terdapat dalam surat al-Maidah : 5,
yang kandungan ayatnya berisi ketentuan tentang diperbolehkan menikahi
wanita-wanita ahli kitab, ayat tersebut berbunyi:
اليومأحللكمالطيباتوطعامالذينأوتواالكتابحللكموطعامكمحللهموالمحصناتمنالمؤمناتوالمحصناتمنالذينأوتواالكتابمنقبلكمإذاآتيتموهنأجورهنمحصنينغيرمسافحينولامتخذيأخدانومنيكفربالإيمانفقدحبطعملهوهوفيالآخرةمنالخاسرين
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang
baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu”
Dari ayat ini memang jelas bahwa
laki-laki muslim boleh menikahi perempuan ahli kitab. Dan setelah turunnya ayat
ini, banyak sebagian sahabat yang menikahi wanita-wanita ahli kitab, seperti
Usman bin Affan kawin dengan Nailah binti Quraqashah al-Kalbiyah yang Nasrani,
Thalhah bin Ubaidillah dengan perempuan Yahudi di Damaskus, Huzaifah kawin
dengan perempuan Yahudi di Madyan, bahkan Rasulullah saw pun pernah menikahi
perempuan ahli kitab yaitu Nabi Maria Qibtiyah, perempuan Kristen Mesir dan
Sophia yang Yahudi.
Namun masalah pernikahan ahli kitab ini terdapat
masalah pokok, ialah yang pertama siapakah yang dimaksud ahli kitab kalau dikaitkan
dengan konteks sekarang? Sebelumnya terlebih dahulu kita lihat definisi ulama
mengenai ahli kitab ini. Imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama fiqh, seperti
dikutip Zainun (dosen UIN Syarif Hidayatullah), berpendapat bahwa siapapun yang
mempercayai salah seorang nabi atau salah satu kitab suci yang pernah
diturunkan oleh Allah, maka ia termasuk ahlul kitab. Rasyid Ridha bahkan
menegaskan bahwa Majusi, Sabian, Hindu (Brahmanisme), Budha, Konghucu, Shinto
dan agama-agama lain dapat dikategorikan sebagai ahli kitab. Namun kiranya
pendapat dari Haji Abdullah ini kami rasa lebih mewakili, beliau berpendapat,
apa yang dimaksud dengan ahli kitab ini ialah seorang yang dapat membuktikan
bahwa agamanya mempunyai kitab yang diturunkan pada seorang Rasul dari keluarga
Ibrahim dan agama itu ialah Islam, Yahudi, Nasrani serta suhuf-suhuf
kepada Nabi/Rasul tertentu. Maka yang dimaksud ahli kitab ialah mereka yang
menganut keyakinan: 1) Iman dan percaya kepada Allah SWT, 2) Iman dan percaya
kepada salah satu kitab sebelum al-Qur’an diturunkan (sebelum Muhammad saw), 3)
Iman dan percaya kepada rasul-rasul Allah SWT.
Jadi kita dapat sedikit menarik kesimpulan bahwa ahli
kitab itu orang-orang yang menerima dan mempercayai kitab yang diturunkan Allah
kepada Rasul-Nya sebelum Nabi Muhammad saw (al-Qur’an) itu ada. Sehingga ini
sesuai dengan konsep pernikahan yang dilakukan sahabat yang pernah nikah dengan
wanita ahli kitab, karena memang di zaman itu ahli kitab itu masih benar-benar
ahli kitab yang hidup sebelum (dekat) al-Qur’an diturunkan. Sedangkan
orang-orang (Yahudi, Nasrani) sekarang tidaklah dapat disebut sebagai ahli
kitab. Mahmud Yunus mengatakan bahwa sekarang ini tidak ada lagi ahli kitab
(kalaupun ada, itupun dalam jumlah yang sangat sedikit sekali). Terlebih sekarang
kitab mereka perjanjian lama dan perjanjian baru sudah banyak terkontaminasi
atau dalam bahasa lainnya sudah banyak campur tangan manusia.
Terakhir dapat kita katakan perkawinan beda agama
dalam kajian hukum Islam dilarang dengan ketentuan yaitu pelarangan secara
tegas untuk wanita dan laki-laki muslim yang haram untuk menikahi orang kafir.
Kedua, mengungkapkan pelarangan wanita muslim untuk dinikahkan dengan laki-laki
non-muslim, ketiga ialah dibolehkannya laki-laki muslim menikahi wanita yang
benar-benar ahli kitab.
PernikahanBeda Agama menurutMazhabEmpat
Sebagaimana
diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa hukum perkawinan antara seorang
perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki non-muslim, apakah ahlul
kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan
tersebut haram, tidak sah. Akan tetapi apabila perkawinan tersebut antara
seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahlul kitab atau
musyrik, maka para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan
musyrik dan ahlul kitab tersebut. Dalam pembahasan terahir ini penulis akan
mencoba membahas tentang hukum perkawinan lintas agama ini dari sudut pandang
ulama mazhab empat, walaupun pada prinsipnya ulama mazhab empat ini mempunyai
pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas
berikut pandangan keempat mazhab fiqh tersebut mengenai hukum perkawinan lintas
agama.
1). Mazhab Hanafi.
Iman Abu
Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik
hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul kitab
(Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena
menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab
samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja
yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT,
termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang
yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh
dikawini.
Bahkan
menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau wanita kitabiyah
yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan
dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya makruh tahrim, karena
akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang besar, sedangkan
perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan
mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan
menghalalkan daging babi.
2). Mazhab Maliki.
Mazhab
Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini mempunyai dua pendapat yaitu :
pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah (
Wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada
hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah(wanita non
muslim yang tidak memiliki akad perdamaian dengan muslimin) lebih besar. Aka
tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi
anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua,
tidakmakruhmutlakkarenaayattersebuttidakmelarangsecaramutlak.Metodologiberpikirmazhab
Maliki inimenggunakanpendektan Sad al Zariah (menutupjalan yang
mengarahkepadakemafsadatan).Jikadikhawatirkankemafsadatan yang
akanmunculdalamperkawinanbeda agama, makadiharamkan.
3). Mazhab Syafi’i.
Demikian halnya dengan mazhab
syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahlul kitab, dan yang
termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut mazhab Syafi’i adalah
wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak
termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakanmazhabiniadalah :
(1). KarenaNabi Musa AS
danNabi Isa AS hanyadiutusuntukbangsa Israel, danbukanbangsalainnya.
(2). Lafal
min qoblikum (umatsebelumkamu) pada QS. Al-Maidahayat 5
menunjukkankepadaduakelompokgolonganYahudidanNasranibangsa Israel.
Menurut mazhab ini yang termasuk
Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak
semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu semenjak sebelum
Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani
sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul
Kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.
4. Mazhab
Hambali.
Pada mazhab Hambali mengenai
kajiannya tentang perkawinan beda agama ini, mengemukakan bahwa haram menikahi
wanita-wanita musyrik, dan boleh menikahi wanita Yahudi dan Narani. Kelompok
ini dalam kaitan masalah perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung
pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk
ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel saja, tapi menyatakan
bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad
belum diutus menjadi Rasul.
AnalisisNikah Beda Agama
Sebenarnya pernikahan antara pria
muslim dengan wanita ahli kitabdiperbolehkan dalam Islam, tetapi
karena saat ini sangat sulit sekali ditemui wanita Ahli Kitab yang benar-benar
“Ahli Kitab”, maka saya dapat simpulkan bahwa pernikahan beda agama yang ada
saat ini tidak dapat dikatakan sah karena hampir tidak ada wanita Ahli Kitab
yang benar-benar berpegang teguh kepada Kitab Taurat dan atau Kitab Injil.
Karena kedua Kitab suci tersebut yang ada saat ini bukan Kitab Taurat dan Injil
yang asli. Sedangkan bagi wanita muslimah yang menikah dengan pria non-muslim,
baik pria musyrik maupun pria Ahli Kitab tetap dihukumi haram
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda
“Wanita itu dinikahi karena empat
hal; karena hartanya; karena keturunannya; karena kecantikannya dan karena baik
kualitas agamanya. Maka pilihlah wanita yang baik kualitas agamanya, niscaya
kalian akan beruntung”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka bagi kaum muslimin dan
muslimah, alasan pernikahan beda agama dengan alasan cinta, kesamaan hak,
kebersamaan, toleransi atau apapun alasannya tidak dapat dibenarkan.
Perlu
pula ditegaskan bahwa masalah pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab
hanyalah suatu perbuatan yang dihukumi boleh dilakukan, namun bukan anjuran,
apalagi perintah. Karenanya pernikahan yang paling ideal dan yang bisa membawa
kita selamat di dunia maupun akhirat serta membawa keluarga kita menjadi keluarga
yang sakinah, mawaddah dan warohmah adalah pernikahan dengan orang seagama
yaitu Islam.
F. Penutup
Nikah mut’ah
adalah seseorang yang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu,
dengan sesuatu pemberian kepadanya berupa harta, makanan, pakaian atau yang
lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah
tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.
Mayoritas ulama mengharamkan nikah mut’ah karena cenderung
merugikan pihak wanita, apalagi konteksnya sekarang sangat berbeda dengan pada
masa Rasulullah SAW. Hanya saja, sekte Syi’ah Imamiyah masih
menghalalkannya.
Kita kemudian melihat sebagian orang yang mengatakan bahwa haramnya
nikah mut’ah atas dasar kesepakatan seluruh sahabat, kecuali Ibnu Abbas yang
memang pada mulanya beliau menghalalkan tetapi hanya untuk darurat, kemudian
beliau mencabut kembali saat beliau menjelang wafat. Mulai dari Tangapan
Sahabat Setelah adanya larangan terhadap Nikah Mut’ah, Tabi’in dan ulama
sesudahnya,Halalnya Mut’ah Adalah Pendapat Kebanyakan Shabat dan Tabi’in serta
Ahlul Bait as., Abu hanifah Tentang Nikah Mut’ah, dan Ahmad bin Hanbal Juga Membolehkan
Nikah Mut’ah.
Perkawinanlintas
agama adalahperkawinanantar agama, yaituperkawinan yang
dilakukanolehseorangpriaatauseorangwanita yang beragama Islam
denganseorangwanitaatauseorangpria yang beragama non-Islam. Perkawinanantar
agama disinidapatterjadi (1) calonisteriberagama Islam,
sedangkancalonsuamitidakberagama Islam, baikahlulkitabataupunmusyrik, dan (2)
calonsuamiberagama Islam, sedangkancalonisteritidakberagama Islam,
baikahlulkitabataupunmusyrik.
Dapat kita katakan perkawinan beda
agama dalam kajian hukum Islam dilarang dengan ketentuan yaitu pelarangan
secara tegas untuk wanita dan laki-laki muslim yang haram untuk menikahi orang
kafir. Kedua, mengungkapkan pelarangan wanita muslim untuk dinikahkan dengan
laki-laki non-muslim, ketiga ialah dibolehkannya laki-laki muslim menikahi
wanita yang benar-benar ahli kitab.
Dalam pembahasan terahir ini penulis
akan mencoba membahas tentang hukum perkawinan lintas agama ini dari sudut
pandang ulama mazhab empat, walaupun pada prinsipnya ulama mazhab empat ini
mempunyai pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikahi, yaitu
menurut MazhabHanafi, Maliki, Hambali,dan
Syafi’i.
DAFTAR PUSTAKA
Murtada,Ja’far. Nikah Mut’ah Dalam Islam. 1992. Bandung : CV
Firdaus
Rauf, Amin. Buku Pintar Agama Islam.2011. Yogyakarta : SABIL
Eziezha.blogspot.com/2013/05/makalah-pernikahan-beda-agama-.html?m=1
Salas-download.blogspot.com/2013/02/hukum-pernikahan-beda-agama-dalam-islam.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar