Senin, 04 Mei 2015

Ushul fiqh



KATA PENGANTAR
Assalamualaikumwr.wb.
     Segala puji kami haturkan  atas Kehadirat Ilahi Robbi dan memanjatkan Puji Syukur atas segala nikmat yang diberikan kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan tugas kami dengan lancar tanpa halangan suatu apapun. Kami mengucapkan terimakasih kepada Allah SWT yang telah memudahkan kami dalam mengerjakan tugas, kepada kedua orang tua kami yang selalu memberika motivasi dalam belajar, dan dosen pemimbing Mata Kuliah Ushul Fiqih, Bpk. Homaidi Hamid, S. Ag., M. Ag. Yang telah membimbing kami dalam mata kuliah ini, lain dari pada hal itu kami juga ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada semua teman-teman kelas B, semoga kelak kita semua bisa menjadi orang-orang yang bermanfaat bagi agama, nusa,  bangsa, dan semoga kita semua benar-benar mampu menggapai maqom ulul albab, yaitu derajatnya orang-orang yang mulia, yang berilmu pengetahuan luas serta berakhlak mulia,amin…
            Disini kami menghadirkan dasar-dasar hukum Islam yang tidak terdapat dalam Al –Qur’an  maupun Al-Hadits, dan dasar-dasar hukum ini sering di perbincangkan dan di perselisihkan oleh para ulama’, dasar-dasar hukum tersebut yaitu :Istihsan, Mashlahah Murshalah, dan Saddudz-Dzari’ah, dan makalah ini hadir untuk membicarakan bagaimana hukum terbentuk melalui dasar-dasar yang telah kami sebutkan tadi, Semoga saja makalah ini bermanfaat buat kita semua. Amin…
Dalam penugasan ini, kami menyadari masih banyak kekurangan baik dari segi susunan serta cara penulisan, karenanya kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan Resume ini sangat kami harapkan. Sekian prakata dari kami, apabila ada kekurangan kami mohon maaf.
Wassalamualikumwr.wb.

Yogyakarta, 26 Oktober 2014

            Penyusun
DAFTAR ISI



A.    KATA PENGANTAR                .............................................................................. 1.
B.     DAFTAR ISI                               .............................................................................. 2.
C.     BAB I
PENDAHULUAN                      .............................................................................. 3.
a.       Latar Belakang                       .............................................................................. 3.
b.      Tujuan                                    .............................................................................. 3.
c.       Rumusan Masalah                  .............................................................................. 4.
BAB II
PEMBAHASAN                         .............................................................................. 4.
a.       Istihsan                                   .............................................................................. 4.
b.      Mashlahah Murshalah            .............................................................................. 10.
c.       Saddudz-Dzari’ah                  .............................................................................. 15.
D.    PENUTUP                                   .............................................................................. 17.
a.       Kesimpulan                            .............................................................................. 17
b.      Kritik dan Saran                     .............................................................................. 18.
E.     DAFTAR PUSTAKA                 ..............................................................................18.






BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulahs sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaanakan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada padak oridor yang semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqiht idaklah sertamerta menjamin kesatuanhasil ijtihad dan istinbath para mujtahid.Disampingfaktoreksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri padasebagianmasalahnyamengalamiperdebatan (ikhtilaf) di kalanganpara Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilahal-Adillah (sebagianahliUshul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaffiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
            Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu: Istihsan, istishab, Maslahah mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi.  Oleh sebab itu, makalah ini akan membahas tentang sumber yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad yaitu: Istihsan, Maslahah mursalah, Saddudzari’ah.
B.     TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai sarana untuk belajar bagi siapa saja yang membacanya, selain itu juga sebagai bahan untuk berdiskusi. Sehinggadiharapkan dengan makalah ini pembaca mendapatkan manfaat dan bertambah wawasan.

C.    RUMUSAN MASALAH
1.      Apayang dimaksud denganIstihsan ?
2.      Apayang dimaksud dengan Mashlalah Mursalah?
3.      Apayang dimaksud denganSaddud-Dzari’ah ?



BAB II
PEMBAHASAN

1.     ISTIHSAN

A.    Definisi Istihsan :
Istihsan menurut bahasa adalah : menganggap sesuatu itu baik. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih ialah : Berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan Qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan Qiyas yang khafy (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsnay (pengecualian) ada dalil yang meyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini.
Apabila terjadi suatu kejadian dan tidak ada nash mengenai hukum-nya, dan untuk menganalisisnya terdapat dua aspek yang berbeda, yaitu :
Pertama           : Aspek yang nyata yang menurut suatu hukum tertentu,
Kedua             : Aspek yang tersembunyi yang menghendaki hukum lain.
Selanjutnya pada diri mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan segi analisis yang tersembunyi, lalu ia berpaling dari aspek analisis yang nyata, maka ini disebut dengan nama : Istihsan, menurut istilah syara’. Demikian pula apabila ada hukum yang bersifat kulli (umum), namun pada diri si mujtahid ada dalil yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum yang bersifat  kulli (umum) tersebut dan menuntut hukum lainnya, maka ini juga menurut syara’ disebut dengan Istihsan.

B.     Macam-macam Istihsan
Dari definisi Istihsan menurut syara’ jelaslah bahwasannya istihsan ada dua macam, yaitu :
Pertama   : Pentarjihan qiyas khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jali (nyata) karena                               ada suatu dalil.
Kedua      : Pengecualian kasuistis (juz’iyyah) dari suatu hukum kulli (umum) dengan adanya suatu dalil.
Di antara beberapa contoh dari macam yang pertama istihsan ialah:
1.      Fuqaha Hanafiyyah menyebutkan, bahwasanya seorang pewakaf apabila mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka masuk pula secara otomatis hak pengairan (irigasi), hak air minum, hak lewat ke dalam wakaf, tanpa harus menyebutkannya, berdasarkan istihsan.
Menurut qiyas, semuanya ini tidak termasuk kecuali bila terdapat nash yang menyebutkannya sebagaimana jual beli.
Segi istihsan ialah: bahwasanya yang menjadi tujuan daripada wakaf adalah pemanfaatan sesuatu yang diwakafkan kepada mereka. padahal pemanfaatan tanah pertanian tidak akan ada kecuali dengan meminum airnya, saluran airnya, dan jalannya. Oleh karena itu, hal-hal tersebut juga termasuk dalam wakaf meskipun tanpa menyebutkannya. Karena tujuan tersebut tidak akan terealisir kecuali dengan hal-hal itu, sebagaimana sewa-menyewa.
Qiyas yang nyata adalah mempersamakan wakaf ini dengan jual beli, karena masing-masing dari wakaf dan jual beli merupakan pengeluaran hak milik dari pemiliknya. Sedangkan qiyas yang khafi (tersembunyi) mempersamakan wakaf ini dengan sewa-menyewa, karena masing-masing dari keduanya dimaksudkan untuk dimanfaatkan. Maka sabagaimana masuknya pengairan (irigasi), air minum, dan jalan dalam menyewakan tanah meskipun tanpa menyebutkannya, maka semuanya  itu juga masuk di dalam wakaf tanah, tanpa harus menyebutkannya.

2.      Fuqaha Hanafiyyah menyebutkan bahwasanya apabila si penjual dan si pembeli bersengketa mengenai jumlah harga sebelum serah terima barang yang dijual, kemudian si penjual mengaku bahwasanya harganya adalah sertatus juneh, maka bereka berdua bersumpah berdasarkan istihsan.
Berdasarkan qiyas, si penjual tidak bersumpah, karena si penjual itu menuntut tambahan, yaitu “sepuluh”, sedangkan si pembeli mengingkarinya. Bukti atas orang yang menuntut dan sumpah atas orang yang mengingkarinya. Oleh karena itu si penjual tidak wajib bersumpah.
Segi istihsannya ialah, bahwasanya si penjual pada lahirnya menuntut tambahan dan mengingkari hak si pembeli dalam penerimaan barang yang dijual setelah ia menyerahkan sembilan puluh juneh. Sedangkan si pembeli pada lahirnya mengingkari tambahan yang dituntutkan oleh si penjual, yaitu sepuluh juneh dan menuntut hak penerimaannya terhadap barang yang dijual setelah ia menyerahkan sembilan puluh juneh. Dengan demikian, sebenarnya masing-masing dari kedua belah pihak adalah pendakwa dari satu segi dan mengingkari dari sisi lainnya, oleh karena itu, maka mereka berdua saling bersumpah.
Jadi berdasarkan qiyas yang nyata, ialah : mempersamakan kasus ini dengan segala kejadian yang terjadi antara pendakwa dan terdakwa yang ingkar, maka bukti adalah wajib atas orang yang mendakwa dan sumpah adalah wajib atas orang yang mengingkari dakwaan itu.
Sedangkan menurut qiyas yang tersembunyi ialah : mempersamakan kasus ini dengan setiap kejadian yang terjadi antara dua orang yang saling mendakwa, di mana masing-masing dari kedua belah pihak pada waktu yang sama dianggap sebagai pendakwa dan pengingkar, maka mereka saling bersumpah.

3.      Fuqaha Hanafiyyah menyebutkan, bahwasanya sisa minuman burung yang buas, seperti burung nasar, burung gagak, burung elang, burung rajawali, adalah suci berdasarkan istihsan, dan najis berdasarkan qiyas. Segi pengqiyasannya ialah bahwasanya ia merupakan sisa minuman binatang yang dagingnya haram dimakan, sebagaimana sisa minuman binatang buas seperti : harimau, macan tutul, singa, dan serigala. Hukum sisa makanan binatang mengikuti hukuman dagingnya.
Sedangkan segi istihsannya ialah bahwasanya jenis burung yang buas, meskipun dagingnya diharamkan, hanya saja air liurnya yang keluar dari dagingnya tidaklah bercampur dengan sisa minumannya, karena ia minum dengan paruhnya, padahal ia adalah tulang yang suci. Adapun binatang buas, maka ia minum dengan lidahnya yang bercampur dengan air liurnya. Oleh karena inilah maka sisa minumannya najis.

Pada setiap contoh dari beberapa contoh tersebut terdapat pertentangan pada suatu kasus antara dua qiyas, yang pertama adalah qiyas yang nyata yang mudah difahami, dan kedua adalah qiyas yang tersembunyi yang agak rumit untuk difahami, namun si mujtahid mempunyai dalil yang memenangkan qiyas yang tersembunyi, kemudian ia berpaling dari qiyas yang nyata. Perpalingan ini adalah “istihsan”. Dan dalil yang menjadi dasarnya adalah segi istihsannya.
Di antara contoh macam istihsan yang kedua ialah sebagai berikut :
Syari’ (Pembuat hukum : Allah) melarang terhadap jual beli benda yang tidak ada dan mengadakan akad terhadap sesuatu yang tidak ada, namun Dia memberikan kemurahan secara istihsan pada salam (pemesanan), sewa menyewa, muzara’ah (akad bagi hasil penggarapan tanah), musaqat (akad bagi hasil penyiraman tanah), dan istishna’ (akad jasa pengerjaan sesuatu). Semuanya itu adalah akad, sedangkan sesuatu yang diakadkan tidak ada pada waktu akad berlangsung. Segi istihsannya adalah kebutuhan manusia dan kebiasaan mereka.
Fuqaha menyebutkan bahwasanya orang yang diberi amanat mengganti rugi sesuatu yang mati di luar pengetahuannya, karena ketidak-tahuannya itu merupakan bentuk penganiayaan. Dan berdasarkan istihsan dikecualikan kematian si ayah, atau kakek atau orang yang diwasiati tanpa sepengetahuan. Segi istihsannya adalah bahwasanya si ayah, atau si kakek, dan orang yang diwasiati, masing-masing dari mereka berhak menafkahkan atas anak kecil dan memalingkan sesuatu yang dibutuhkannya. Boleh jadi apa yang tidak diketahuinya itu sebenarnya telah dipergunakannya untuk kepentingan si anak itu.
Fuqaha juga menyebutkan bahwasanya orang yang diberi amanat tidaklah mengganti kecuali disebabkan penganiayaan atau kelalaian dalam memelihara, dan berdasarkan istihsan dikecualikan orang yang menyewa dengan persekutuan. Ia menanggung resiko atau mengganti rugi, kecuali apabila rusaknya sesuatu yang ada padanya disebabkan suatu kekuatan yang memaksa. Segi istihsannya ialah jaminan penyewa.
Mereka juga menyebutkan bahwasanya orang yang berada dibawah pengampunan (mahjur ‘alaih) karena bodoh, maka perbuatan baiknya tidak sah, dan berdasarkan istihsan dikecualikan wakafnya atas dirinya selama masa hidupnya. Segi istihsannya ialah bahwasanya wakafnya atas dirinya sendiri merupakan pengamanan tanah miliknya dari penyerobotan. Ini adalah sesuai dengan tujuan pengampunan terhadapnya.
Pada setiap misal dari beberapa contoh tersebut ada pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum) karena ada dalil. Inilah yang menurut istilah disebut dengan istihsan.

 C.  Kehujjahan Istihsan
Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua macamnya jelaslah bahwasanya pada hakekatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jeas, karena adanya beberapa faktor yang memenangkannya yang membuat tenang hati si mujtahid. Itulah segi istihsan. Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum), dan ini juga yang disebut dengan segi istihsan.
   Mereka yang mempergunakan hujjah berupa istihsan, mereka ini kebanyakan dari ulama Hanafiyyah, maka dalil mereka terhadap kehujjahannya, ialah : bahwasannya beristidlal dengan istihsan merupakan istidlal dengan dasar qiyas yang nyata, atau ia merupakan pentarjihan suatu qiyas atas qiyas yang kontradiksi dengannya, dengan adanya dalil yang menuntut pentarjihan ini, atau ia merupakan istidlal dengan kemaslahatan mursalah (umum) berdasarkan pngecualian kasuistis dari hukum yang kulli (umum). Semuanya ini merupakan istidlal yang shahih.
D.       Kesamaran Orang yang Tidak Berhujjah dengan Istihsan
Sekelompok mujtahid mengingkari terhadap istihsan sebagai hujjah dan mereka menganggapnya sebagai beristinbath terhadap hukum syara’ berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya sendiri. Tokoh ulama kelompok ini adalah Imam Asy-Syafi’i. Menurut sebuah riwayat, bahwa ia berkata :
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدَ شَرَّعَ (وَمَنَ شَرَّعَ فَقَدْ كَفَرَ)
Artinya :

"Sesiapa yang beristihsan (menyangka baik satu-satu amalannya yang direka), bererti dia telah membuat satu syariat (dan sesiapa yang membuat syariat, maka ia sudah kafir)"

Maksudnya orang tersebut telah memulai hukum syara’ dari dirinya sendiri.
            Dalam kitab Risalah Ushuliyyahnya, Asy-Syafi’i menetapkan :
مَثَلُ مَنْ اِسْتَحْسَن حَكْمًا مِثْلُ  مِنِ  اتَّجَه  فِي الصَّلاَةِ  اِلَي جِهَةٍ  اِسْتَحْسَنَ اَنَّهَا الكَعْبَةُ  مِنْ غَيْرِ اَنْ يَقُوْمَ  لَهُ  دَلِيْل مِنَ الْاَدِلَّةَ  الَّتِى  اَقَا مَهَا الشَّارِعُ  لِتَعْيِيْنِ  الْاِتْجَاَهِ  اِلَى  الْكَعْبَةِ .
Artinya :
“Perumpamaan orang beristihsan terhadap hukum adalah seperti orang yang menghadap suatu arah di dalam shalatnya dimana ia beranggapan baik bahwa arah tersebut adalah Ka’bah, namun tidak ada dalil baginya dari berbagai dalil yang telah dikemukakan oleh Syari’ untuk menentukan arah Ka’bah”.
Dan di dalam kitab tersebut ia juga berkata :

اَلْاِسْتِحْسَانُ تَلَذُّذ. وَلَوْ جَازَ الاخْذُ بِالاِسْتِحْسَانِ فِى الدّيْنِ جَازَ ذللكَ لِاَهْلِ الْعَقُوْلُ مِنْ خَيْرٍ اَهْلِ العِلْمِ، وَلَوْجَازَ اَنْ يَشْرِعَ فى الدّين فى كُلّ بَابٍ وَاَنْ يَخْرجَ كُلٌّ اَحَدٍ لِنَفْسِه شَرْعًا .
Artinya :
            “Istihsan adalah mencari enak. Kalau sekiranya berdasarkan istihsan dalam agama itu boleh, niscaya hal itu boleh juga bagi kaum rasional yang tidak ahli ilmu agama, dan niscaya boleh pula mensyari’atkan agama pada setiap bab, serta boleh pula setiap orang mengeluarkan hukum syara’ untuk dirinya sendiri”.
            Yang jelas bagi saya, bahwasanya kedua kelompok yang bertentangan pendapat mengenai istihsan tidak sepakat mengenai pembatasan pengertiannya. Orang-orang yang mempergunakan istihsan sebagai hujjah memaksudkan makna istihsan tidak seperti yang dikehendaki oleh orang-orang yang tidak menjadikannya sebagai hujjah. Kalau sekiranya mereka sepakat terhadap batasan pengertiannya, niscaya mereka tidak akan berbeda pendapat mengenai menjadikan istihsan sebagai hujjah, karena sesungguhnya istihsan setelah ditahqiqkan adalah perpindahan dari dalil yang zhahir atau dari hukum yang kulli (umum) karena ada dalil yang menuntut perpindahan ini. Jadi ia bukan semata-mata pembentukan syari’at berdasarkan hawa nafsu.
            Setiap hakim terkadang muncul pada akalnya suatu kemaslahatan yang hakiki dalam berbagai kasus, yang menuntut pemalingan hukum pada kasus-kasus tersebut dari apa yang dituntut oleh zhahir undang-undang. Hal ini tidak lain adalah bentuk dari istihsan.
            Oleh karena inilah, maka Imam Asy-Syathibi dalam kitab Al-Muwafaqat berkata : “Barang siapa yang mempergunakan dalil istihsan, ia tidaklah kembali kepada semata-mata perasaannya dan kemauannya saja, akan tetapi ia kembali kepada apa yang telah ia ketahui daripada tujuan Syari’ secara keseluruhan pada berbagai contoh hal yang diajukan, sebagaimana beberapa hal yang menuntut qiyas, hanya saja hal itu akan membawa kepada hilangnya kemashlahatannya dari stau segi atau dari segi lainnya ia bisa mendatangkan kerusakan”.

2.     MASHLAHAH MURSALAH

A.    Pengertian Mashlahah
Mashlahah mursilah artinya muthlak. Dalam istilah ushul, yaitu kemaslahatan yang tidak disyaritakan oleh syar’i untuk mengi’tibarkananya, atau membatalkannya. Dinamakan mutlak karena tidak dikaitkan dengan dalil yang menerangkan atau dalil yang membatalkannya. Misalnya kemashlahatan yang disyariatkan. Disini dikemukakan yaitu sahabat mendirikan penjara, atau mencetak mata uang, atau menetapkan tanah pertanian yang dibuka oleh yang memilikinya. Dan memungut pajak terhadap tanah itu. Atau kemashalatan lainnya yang dirasa penting dijalankan. Atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak disyari’atkan oleh hukum. Tidak disaksikan oleh orang yang menyaksikan syari’at dengan i’tibarnya.
Definisi ini menerangkan bahwa tasyri’ hukum itu tidak bermaksud selain dari untuk menetapkan kemashlahatan masyarakat. Artinya mendatangkan kemanfaatan dan menghapuskan kemudharatan dalam masyarakat. Kemashlahatan orang itu tidak melingkupi seluruh kehidupan. dan tidak akan mencegah ifradnya. Dia hanya memperbaharui dengan pembaharuan masalah kemasyarakatan, mengikuti perkembangan yang berbeda-beda menurut tempat dan masanya. Tasyri hukum itu mendatangkan kemanfaatan pada suatu masa dan kemudharatan pada masa lainnya. pada suatu masa hukum itu akan bermanfaat dan merupakan mudharat pada masa lainnya.
Kemashlahatan yang disyari’atkan oleh syari’ itu untuk menetapkan hukum. Dan menunjukan i’tibarnya, dan menerangkan  sebab-sebab apa yang disyari’atkan. Dalam istilah ushul dinamakan Al Mutshalih mu’tabirah dari syari’. Misalnya memelihara kehidupan orang. Syari’ mensyari’atkan, wajib melakukan kisas terhadap orang yang membunuh, pembunuhan yang direncanakan. Untuk memelihara harta benda maka disyariakan potongan tangan terhadap orang yang mencuri, baik laki-laki mauoun perempuan. Untuk menjaga nama baik maka disyariatkan menjatuhkan sanksi hukuman terhadap orang yang mengkazaf  dan orang yang berzina. Tiap-tiap orang yang melakukan pembunuhan denan rencana, mencuri, mengkazaf dan berzina itu harus bersesuaian.
Artinya tasyri’ hukum itu dibina untuk menetapkan kemashlahatan. Ini harus difikirkan oleh pembuatan syari’at (undang-undang dan perempuan-perempuan). Karena yang membuat peraturan iu membina hukum di atasnya. Penyesuaian ini harus difikirkan oleh syari’. Ada yang berbentuk manasib mu’atsar, dan ada pula yang terbentuk manasib mala-im. Harus diperhitungkan matang-matang macam i’tibar ini oleh pembuat peraturan. Tidak boleh ada perbedaan dalam syari’at yang dibinanya itu sebagaimana yang dikemukakan di atas.
Adapun mashalih yang mengatur masalah tempat tinggal dan musibah setelah terputusnya wahyu, tidak ada syari’ yang mensyariatkan hukum untuk ditetapkan. tidak ada dalil yang dikemukakan untuk menerangkan atau untuk membatalkannya. Ini dinamakan manasib mursil, atau dinamakan dengan istilah lain. Mashalalah mursilah ini adalah seperti mursilah yang berlaku dalam perkawinan yang tidak ditetapkan secara resmi. Di sini tidak diperdulikan tuduhan orang yang mengingkarinya. Misalnya kemashlahatan yang mengatur masalah akad jual beli yang tidak memindahkan hak milik. Seluruh mashlahah ini tidak disyariatkan oleh pembuat syariat mengenai hukum-hukumnya itu. Tidak ada dalil yang menunjukkan atau yang membatalkan. Inilah dia mashlahah mursilah.
Dalil yang mengemukakan hujah
Menurut ulama-ulama terkemuka, bahwa mashlahah mursilah itu merupakan hujah syari’ah. Di atasanya itu dibina syari’atkan hukum. Masalah-masalah yang tidak diatur oleh hukum, baik yang bedasarkan nash, ataupun ijmak, kias, atau istihsan, dalam hal ini orang mensyariatkan hukum yang mengatur mashlahah muthlak. Tidak menghentikan tasyri’ hukum dibina di atas mashlahah ini untuk mengadakan saksi tasyri’ dengan penjelasannya.
Dalil-dalil yang dikemukakan orang dalam maslah ini ada dua :
Pertama, memperbaharui kemashlahatan masyarakat dan tidak mengadakan larangan-larangan. Kalau tidak disyariatkan hukum maka dengan apa orang akan mengadakan pembaharuan-pembaharuan. Dengan apa orang mengadakan, mengembangkan dan mempersempit ruang tasyri’ terhadap kemashlahatan yang difikirkan oleh syar’i. Untuk memelihara keselamatan orang menurut perkembangan masyarakat. Ada hal-hal yang tidak disepakati dan tidak diinginkan oleh syari’ dalam menetapkan kemashlahatan masyarakat.
Kedua, ketetapan tasyri’ sahabat dan tabi’in . begitu juga imam-imam mujtahid. Nyatanya mereka mensyariatkan hukum untuk menetapkan secara mutlak kemashlahatan masyarakat. Bukan hanya sekedar untuk mengadakan sanksi dengan keterangan-keterangan yang diberikannya. Abu bakar mengumpulkan benda-benda yang bertuliskan Al-Qur’an, Dia juga memerangi orang-orang yang enggan membayarkan zakat.
Setelah Umar menjadi khalifah, dia juga pernah menjatuhkan talak tiga dengan satu bperkataan. Dia melarang menyakiti hati mu’alaf dalam masalah sedekah. Dia memungut pajak dan membentuk dewan-dewan. Mendirikan penjara. Dia melaksaanakan hukum terahadap pencurian pada tahun Maja’ah. Usman mengumpulkan mshaf itu menjadi satu dan menebarkannya dan membakar selain dari yang satu itu. Mengatur hak waris bagi isteri yang diceraikan oleh suaminya. Ali bin Abi Thalib pernah memenjarakan pemimpin-pemimpin kaum Rifadhah dari golongan Syi’ah.
Mazhab hanafi melarang orang menjadi mufti lucu, dokter bodoh, memungut sewa kepada orang yang jatuh failit. Mazhab Maliki memperbolehkan memenjarakan orang tertuduh memuliakannya, menghubungkan kepada ketetapannya. Mazhab Syafi’i mewajibkan kisas terhadap serombongan orang yang  membunuh  seseorang. Semuanya itu adalah kebaikan yang dimaksudkan oleh dengan apa yang disyariatkan dari hukum yaitu mashalahatan mursilah.
Syariat mereka itu dibinakan kepadanya karena dia adalah kemashlahatan. Tidak ada adalil dari syari’ untuk membatalkannya. Mereka tidak menegakkan syari’at itu untuk keselamatan sebelum adaa orang yang menyaksikan syari’ itu dengan i’tibarnya. Dalam hal ini kata Al-Qurafi. Para sahabat mengerjakan beberapa hal untuk mengadakan kemashlahatan, bukan untuk mengemukakan saksi yang akan menjelaskan duduk persoalnnya. Kata Ibnu Aqril, siasat itu ialah segala perbuatan orang lebih mendekatkan kepada perdamaian, dan menjauhkan kerusakan sekalipun diperbuat oleh Rasul. Ada orang yang mengatakan, Siasat itu tidak selain dari apa yang dibicarakan orang tentang syariat itu. Pernah ada kekhalifahan para sahabat dalam syariat mereka.
Syarat-syarat untuk dijadikan Hujah
Barang siapa yang mengemukakan hujah dengan mashlahah mursilah, mereka itu harus berhati-hati , sehingga bagi tasyri’ bukanlah merupakan pintu untuk memperunutkan hawa nafsu dan keinginan. Untuk ini syarat-syarat yang dibina oleh tasyri’ itu ada tiga macam syarat.
Pertama, adalah mashlahah hakikat, bukan mashlahah wahamiah (angan-angan). Yang dimaksud dengan ini ialah menetapkan orang yang mentasyri’kkan hidup pada suatu peristiwa, mendatangkan manfaat dan membuang yang mudharat. Adapun tanpa waham maka tasyri’ itu akan mendatangkan  manfaat tanpa menimbang-nimbang antara apa –apa yang akan mendatangkan kemudharatan. Untuk itu harus dibina atas kemashlahatan wahamiah. Misalnya kmashlahatan yang masih deimikan dalam hal mencabut hak suami untuk menceraikan isterinya. Hak meceraikan ini diserahkan saja kepada hakim.
Kedua, ada kemashlahatan umum. Bukan kemashlahatan perorangan. Yang dimaksud dengan ini ialah meyakinkan tasyri’ hukum terhadap suatu peristiwa mendatangkan manfaat untuk orang banyak. Atau membuang kemudharatan. Bukan untuk kemashlahatan. Pribadi, atau orang yang sedikit jumlahnya. Disini tidak boleh mensyariatkan hukum hanaya untuk kemashlahatan khusus oleh Amir atau pembesar. Menyenyampingkan pendapat orang-orang yang kenamaan dan kemashlahatan mereka itu.
Ketiga, Tasyri’ itu tidak boleh bertentangan bagi kemashlahatan hukum ini, atau prinsip-prinsip yang ditetapkan dengan nash atau ijmak. Tidak sah kemashlahatan itu diperlakukan untuk menyatakan hak anak laki-laki dan anak perempuan dalam masalah warisan. Kemashlahatan ini batal karena bertentangan dengan nash Al-Qur’an. Dalam hal ini berfatwa Yahya ibnu Yahya Al Laitsi Al-Maliki, seseorang ahli fikhi di Andalus. Dia adzlah murid dari imam Malik bin Anas Khatiah, ada seorang raja Andalus memperbukakan puasnya dengan sengaja pada bulan Ramadhan. Menurut fatwa imam Yahya, tidak usah membayar kifarat, selain dari berpuasa dua bulan berturut-turut. Fatwanya ini dibina atas kemashlahatan yang berlaku. Jika yang dimaksud dengan kifarat ialah menghardik orang yang berdosa dan menegurnya, sehingga orang itu tidak kembali memperbuat dosa yang seperti itu. Raja itu tidak memperbuat selain ini. 
Adapun memerdekan budak., maka hal ini juga harus dilakukan dan dalam hal ini tidak dihardik. Fatwa ini dibina atas kemashlahatan, tapi bertentangan dengan nash. Karena nash terang-terangan mengatakan bahwa kifarat bagi orang yang sengaja memperbudakkan puasanya pada bulan Ramadhan ialah memerdekakan budak. Barang siapa yang tidak mendapatkan budak maka hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut. Orang-orang yang tidak sanggup, maka hendaklah dia memberimakan enam puluh orang miskin,. Disini  tidak ada peredaan antara raja dengan orang miskin. Kifarat itu hanya dibayar dengan berpuasa dua bulan,khusus mashlahah, bukan Mursalih. Malah batal.
Disini jelas bahwa kemashlahatan dengan kata-kata lain washaf manasib (sifat yang sesuai) bilamana ada bukti syari’ menunjukkan dengan satu keterangan. Yang bersesuaian ini di i’tibarkan oleh syari’. Ada manasib mua-tsir (terpuji) dan ada pula munasib mala-im (sepadan). Apabila saksi syari’ tidak menunjukkan untuk dibatalkan keterangannya, ini dinamakan manasib mursil. Dengan kata-kata lain disebut Al-Mashlahah Mursilah. Lebih jelas lagi ada syarah yang tidak dijadikan hujah. Menurut sebagian ulama mengatakan bahwa mashlahah mursilah yang tidak memakai syari’ dengan penjelasannya, dan tidak pula dengan membatalkannya maka di sini tidak dibina syari’ padanya.
Ada dua dalil yang dikemukakan orang
Pertama, syari’ itu memelihara setiap kemashlahatan orang berdasarkan nash,. Dan apa yang dikemukakan oleh kias. Syari’ tidak akan meninggalkan hal-hal yang percuma kepada orang. Tidak akan membiarkan kemashlahatan itu tanpa menunjuk kepada tasyari’ yang dipunyainya itu. Kemashlahatan itu harus mempunyai saksi dari syari’ dengan keterangannya. Kemashlahatan yang tidak mempunyai saksi dari syari’ berdasarkan alasan yang kuat, maka pada hakikatnya bukanlah kemashalahatan. Hal ini tidak lain selain dari kemashlahatan yang hanya merupakan angan-angan. Dan disini tidak sah membina tasyri’ atasnya.
Kedua, tasyri’ itu dibina atas mashlahah muthlak. Di dalamnya terbuka hawa nafsu daripada wali-wali, pemimpin-pemimpin dan mufti-mufti. Sebagian dari mereka ini dikalahkan oleh hawa nafsu dan maksud-maksud tertentu. Mereka ini mengkhayalkan rusaknya kemashlahatan. Kemashlahatan itu nilainya berbeda-beda. Karena berbeda jalan pemikiran dan tempat tinggal. Maka terbukalah pintu tasyri’ mashlahah muthlak ini, dan terbukalah pintu keburukan.
Menurut kenyataan, inilah yang menguatkan pembinaan tasyri’ atas mashlahah mursilah. Karena apabila pintu ini tidak terbuka, maka tasyri’ Islam itu tidak akan jalan. Akan terhenti peredaran zaman dan domisili. Ada orang yang mengatakn bila tiap-tiap pembagian itu dperinci sampai sekecil-kecilnya masih ada kemashlahatannya kepada orang. Pada zaman apapun dan tempat tinggal manapun juga dipelihara oleh syari’. Disyariatkan dengan nash-nash dan prinsip-prinsip umum menurut apa yang dilakukan dan yang sepadan dengannya. Katanya, tidak menguatkan peristiwa yang terjadi karena dalam hal ini sudah tidak diragukan lagi bahwa sebagian dari mursalih yang terdapat itu tidak menjelaskan saksi syariat terhadap zatnya yang diterangkannya.
Ada pula orang yang khawatir akan tersia-sia sebab adanya kezaliman dan memerturutkan hawa nafsu dengan nama mashlahah muthlak. Ketakutan itu akan hilang karena mashlahah muthlak itu tidak membina tasyri’ kecuali mencukupi tiga syarat yang diperlukan. Mashlahah umum itu pada umumnya tidak membedakan nash syar’i dan tidak mempunyai prinsip-prinsip syar’i.
Kata Ibnu Qayim, diantara orang-orang Islam itu ada yang sudah keterlaluan dalam memelihara mashlahah mursilah. Tidak bisa berdiri dengan mashalih hamba yang membutuhkan kepada lainnya. mereka  menutup terhadap diri mereka itu sendiri jalan-jalan yang benar dan diantara mereka itu ada yang sudah keterlaluan, mereka memperblehkan apa-apa yang dilakukan oleh syari’at Allah dan mereka memperbuat keterbuukan terus-menerus dan kerusakan sepanjang masa.

3.      SADDUDZ DZARI’AH
1.    Pengertian
Saddudz secara bahasa artinya menutup. Dzari’ah artinya sarana untuk mencapai tujuan atau maksud. Sedangkan secara bahasa saddudz dzari’ahartinyamenutup sarana untuk mencapai tujuan atau maksud tertentu. Menurut ushul fiqih, saddudz dzari’ah adalah menutup atau melarang sesuatu yang mubah yang dapat mengantar pada kerusakan atau kemudaratan.
2.    Macam-macam Dzari’ah
Dzari’ah dengan memandang kepada dampak yang ditimbulkannya, menurut Ibnu Qoyim ada empat macam:
a.       Dzari’ah yang secara esensi merusak, seperti pembunuhan dapat merusak jiwa,zina dapat merusak kehormatan, pencurian dapat merusak harta bennda.
b.      Dzari’ah yang secara esensi tidak merusak (mubah), akan tetapi dapat merusak ketika dipakai untuk tujuan tahlil( menghalalkan seorang perempuan untuk kembali kepada suaminya yang mentalak tiga ).
c.       Dzari’ah yang secara esensi tidak merusak (mubah), tetapi dalam situasitertentu dapat mengantarkan kepada kemudaratanyang lebih besar dari kemaslahatannya. Misalnya menjual senjata bagi perampok, menjual anggur pada produsen khomer, dan nikah dengan wanita kristen atau katolik di Indonesia.
d.      Dzari’ah yang secara esensi tidak merusak (mubah), dan kecil kemungkinan membawa pada kemudaratan. Seperti menjual anggur di pasar, melihat wanita yang hendak dilamar, dan lain-lain.
Dari segi kerusakan yang ditimbulkan, Abu Ishak al Syatibi membagi dzari’ah menjadi empat macam, yaitu:
a.       Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan dzari’ah itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan.
b.      Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kalau dzari’ah itu dilakukan, maka kemungkinan besarakan timbulkerusakan atau akan dilakukannya perbuatan ang dilarang.
c.       Dzari’ah yang membawa kepada perbuatan yang terlarang menurut kebanyakannya. Hal ini berarti bila dzari’ah itu dihindarkan sering kali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang terlarang. Umpamanya jual beli kredit.
d.      Dzari’ah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang. Jika perbuatan ini dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpamanya menggali lubang dikebun sendiri yang jarang dilalui orang.
Pandangan Ulama tentang Saddudz Dzari’ah
Tidak ada dalil yang jelas dan pasti baik dalam bentuk nash maupun ijma’ ulama tentang boleh atau tidaknya menggunakan Saddudz Dzari’ah. Oleh karena itu, dasar pengambilanna hanya semata-mata dengan ijtihad, berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan.
Pada dasarnya Jumhur adalah ulama yang menempatkan faktor manfaat dan mudarat sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, pada dasarnya juga menerima metode sadduz dzari’ah, meskipun berbeda dalam kadar penerimaannya.kalangan ulama Malikiyah yang dikenal dengan menggunakan faktor maslahat dengan sendirinya juga menggunakan metode suddudz dzari’ah.
Dasar pegangan ulama untuk menggunakan saddudz dzari’ah adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara maslahat dan mafsadat. Bila maslahat yang dominan maka boleh dilakukan, dan bila mafsadat lebih dominan maka harus ditinggalkan, namun jika sama kuat antara keduanya, maka untuk menjaga kehati-hatian harus diambil prinsip ang berlaku, yaitu sebagaimana dirumuskan dalam kaidah:
دَر أُ الْمَفَا سِدِ مُقَدَّمُ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menolak kerusakan diutamakan ketimbang mengambil kemashlahatan.”
Sebagai pegangan bagi ulama yang mengambil tindakan kehati-hatian dalam beramal, adalah sabda Nabi:
“Yang halal itu sudah jelas dan yang haram itu sudahjelas.yang terletak diantara keduanya termasuk urusan yang meragukan ( subhat ). Ketahuilah bahwa ladang Allah itu adalah padang yang diharamkannya. Siapa yang bergembala disekitar padang larangan Allah itu diragukan akan terjatuh kedalamnya.”
Ulama yang menolak dengan tegas metode saddudz dzari’ah secara mutlak adalah ulama Zhahiriyah.Mereka berpatokan dengan firman Allah dalam surat An Nahl 16:116 :
وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لايُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.


BAB III
PENUTUP
A.   KESIMPULAN
Dari pembahasan materi yang telah dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa; Istihsan menurut istilah ulama ushul fiqih ialah : Berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan Qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan Qiyas yang khafy (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsnay (pengecualian) ada dalil yang meyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini.Selanjutnya pada diri mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan segi analisis yang tersembunyi, lalu ia berpaling dari aspek analisis yang nyata, maka ini disebut dengan nama : Istihsan, menurut istilah syara’.
Kemudian Mashlahah Mursalah dalam istilah ushul memiliki pengertian, yaitu kemaslahatan yang tidak disyaritakan oleh syar’i untuk mengi’tibarkananya, atau membatalkannya. Lalu yang terakhir adalah saddudz dzari’ahyang memiliki pengertian secara bahasa yaitumenutup sarana untuk mencapai tujuan atau maksud tertentu. Sedangkan  menurut ushul fiqih, saddudz dzari’ah adalah menutup atau melarang sesuatu yang mubah yang dapat mengantar pada kerusakan atau kemudaratan.

B.   KRITIK DAN SARAN
Dengan selesainya materi dan pembahasan yang telah dimuat dalam makalah ini, tentu memiliki kekurangan atau kesalahan yang mungkin kurang berkenan di hati para pembaca. Oleh karenanya, kami sebagai penulis makalah ini meminta kesediaannya untuk memberikan kritik dan saran kepada kami. Dengan adanya kritik dan saran dari pembaca, kami mampu mengevaluasi kembali hasil makalah yang telah kami buat, dan memperbaiki kesalahan tersebut dengan baik. Kritik dan saran dari pembaca diharapkan mampu membuat kami belajar dari kesalahan dan memotivasi agar menjadi lebih baik lagi.

















DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina Utama, 1994.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqih. Cet. 2. Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1995
Hamid, Homaidi. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Q-Media, 2013.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih. Jilid 2. Jakarta: Kencana, 2011.

1 komentar: